Dengan blog ini saya bermaksud untuk berbagi pemikiran mengenai masalah-masalah keluarga dan masalah-masalah filosofis dan teologis.
Jumat, 21 September 2012
Keluarga dan Kewirausahaan
Keluarga dan kewirausahaan
Stanislaus Nugroho
Berkaitan dengan tema tersebut di atas, muncul dalam diri saya suatu pertanyaan yang menggelitik saya. Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut: Apakah berkeluarga bisa dikatakan sebagai berwirausaha? Tentu makna kata wirausaha tidak dalam konteks yang umum kita mengerti, yaitu dalam konteks bisnis di bidang ekonomi semata.
Mungkin banyak di antara para pembaca bertanya-tanya: mengapa pertanyaan tersebut muncul dalam diri saya? Saya juga tidak tahu dengan tepat apa yang harus saya jawab atas pertanyaan anda. Tapi secara umum dapat saya katakan bahwa ’ada kemiripan di antara keduanya’. Salah satu kemiripan yang paling menonjol adalah keduanya mempunyai impian, biarpun isi impiannya pasti berbeda satu dengan lainnya. Baik seorang wirausahawan/wati maupun mereka yang berkeluarga memiliki impian. Selanjutnya ada hal lain yang juga mirip, yaitu karakter-karakter yang harus dimiliki baik oleh wirausahawan/wati maupun mereka yang berkeluarga.
Tulisan ini berusaha mengelaborasi baik masalah impian maupun masalah karakter. Namun sebelum itu saya akan mulai dengan mengklarifikasi istilah wirausaha atau wiraswasta. Istilah wiraswasta/wirausaha merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris, entrepreuner. Dalam buku The World Book Dictionary, jilid pertama (1978) istilah entrepreuner dijelaskan sebagai berikut ”a person who organizes and manages a business or industrial undertaking. An entrepreuner takes the risk …..’(p.707).
Kalau kita memperhatikan penjelasan dari The World Book Dictionary tersebut maka ada beberapa kata yang juga merupakan jawaban atas keserupaan yang saya sebutkan di atas, yaitu kata mengorganisasi, mengelola dan risiko. Tulisan ini akan berusaha mengelaborasi beberapa kata kunci dari keserupaan-keserupaan tersebut, yaitu: impian, mengorganisasi, mengelola, risiko dan karakter.
Impian keluarga kristiani
Pertama-tama saya akan mulai dengan kata impian. Berbicara tentang impian maka saya teringat akan seseorang yang bernama Burt Nanus yang buku-bukunya menjadi salah satu acuan saya bila saya harus berbicara tentang kepemimpinan. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Visionary Leadership (1992), maka bagi Nanus suatu visi tidak lain suatu impian, namun bukan sembarang impian. Yang namanya visi adalah suatu impian yang khas. Pada halaman 8 dia menulis ”quite simply, a vision is a realistic, credible, attractive future for your organization”.
Dengan kata lain bagi Nanus, suatu visi adalah suatu impian yang realistis, dapat dipercaya dan menarik untuk masa depan kita, sehingga menimbulkan greget (dorongan yang kuat) dalam diri kita untuk mencapainya. Bagi saya perlu ditambah bahwa impian itu harus spesifik, dapat dicapai karena terukur dan perlu memperhitungkan waktu yang kita miliki. Saya pikir keluarga-keluarga kristiani memiliki impian tentang keluarga yang sangat spesifik – sebagaimana ditulis oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada umat Efesus (5:32), di mana setiap keluarga kristiani harus bermimpi menjadi ’tanda cinta Allah yang tanpa reserve kepada UmatNya’. Biarpun untuk mencapai apa yang menjadi impian keluarga-keluarga kristiani sebagaimana diharapkan oleh Allah sendiri bukanlah pekerjaan mudah, perlu pengorganisasian yang tepat.
Keluarga sebagai organisasi
Secara umum kita dapat mendefinisikan organisasi sebagai suatu wahana di mana dua orang atau lebih bekerja sama baik secara rasional, emosional, terencana dan terkendali dalam mengelola sumber-sumber daya yang ada (misalnya manusia sebagai insan karya, uang, waktu, sarana dan prasarana, dan lain-lain) demi mencapai suatu tujuan bersama. Berkaitan dengan definisi tersebut maka keluarga bisa dilihat sebagai organisasi, bahkan mungkin organisasi yang paling tua di dunia. Bagi organisasi – pada umumnya – pasti hanya ada satu ’komandan’, dalam hal ini keluarga sebagai organisasi memiliki keunikannya. ’Komandan’ dalam keluarga adalah sepasang suami-isteri, karena sepasang suami isteri bukan lagi dua melainkan satu (bdk. Kej.2:24). Dalam hal ini maka sepasang suami isteri perlu mengembangkan dan menerapkan manajen komunikasi yang dikenal dengan istilah dialog. Dialog merupakan komunikasi hati penuh kebaikan (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52), yang tidak lain berarti ’suatu perbincangan yang dimaksudkan untuk menghasilkan saling pengertian, saling memahami, saling menerima, dengan tujuan akhir terciptanya kebersamaan yang damai dan tercapainya kesejahteraan bersama’ (bonum commune). Dengan demikian dialog bukan tawar menawar, juga bukan konfrontasi, juga bukan berdiskusi atau berdebat. Dalam dialog pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya. Dengan saling berbagi maka yang bersangkutan makin diperkaya dan makin saling memahami satu dengan lainnya, dan dengan demikian akan dapat merealisasikan impiannya dengan baik.
Manajemen keluarga
Keluarga sebagai organisasi membutuhkan manajemen. Bagi Peter F. Drucker manajemen tidak lain adalah suatu ilmu yang melakukan studi tentang orang dan kinerjanya, dan sekaligus mempraktekkannya. Dengan menerapkan manajemen yang tepat memungkinkan orang untuk mengeksplisitasikan kemampuannya agar bisa berprestasi. Dengan perkataan lain manajemen bisa dirumuskan sebagai suatu aktivitas yang mampu mengembangkan potensi-potensi dari mereka yang menggunakannya agar semakin mampu menumbuhkembangkan kualitas hidupnya sedemikian rupa sehingga selaras dengan rencana Sang Pencipta. Maka saya paling suka dengan istilah yang digunakan oleh Drucker yaitu manajemen tidak lain adalah humanisasi. Kebutuhan akan manajemen keluarga yang mantap menjadi semakin tinggi karena adanya fenomena yang sangat fenomenal yaitu perubahan yang sangat luar biasa cepat dan substansial. Untuk itu maka keluarga perlu menerapkan suatu manajemen keluarga yang memungkinkan keluarga yang bersangkutan dapat tidak hanya menjadi keluarga yang bisa beradaptasi dengan lingkup kehidupan manusia yang minimal, melainkan keluarga yang bersangkutan mampu mengembangkan keluarganya sedemikian rupa sehingga bisa mengembangkan budaya keluarga yang menjadi ’roh’ agar dapat merealisasikan impian Tuhan sendiri terhadap keluarga-keluarga yang menjadi UmatNya, yaitu menjadi tanda cinta Tuhan yang tanpa reserve kepada umat manusia.
Risiko berkeluarga
Berkeluarga merupakan akibat suatu keputusan, keputusan yang dibuat secara sadar dan bebas serta berlandaskan cintakasih. Keputusan berarti mengatakan YA pada sesuatu dan mengatakan TIDAK pada yang lain. Dalam kaitan dengan keputusan maka kita tidak bisa menghindar dari risiko yang terkandung di dalam keputusan tersebut. Tidak setiap keputusan merupakan keputusan yang bersifat matematis, melainkan hampir sebagian besar keputusan yang berkaitan dengan kehidupan harus berhadapan dengan pilihan-pilihan majemuk. Dalam pelatihan Memecahkan Persoalan dan Pengambilan Keputusan, saya biasanya mengantarkan para peserta pelatihan untuk memahami dan kemudian mampu menerapkan empat langkah yang biasa saya sebut sebagai analisis situasi; analisis persoalan, analisis keputusan, analisis persoalan potensial. Menempatkan persoalan pada tempatnya/situasinya, merumuskan persoalan dengan jelas dan tepat; mencari alternatif-alternatif penyelesaian persoalan dan memutuskan pilihan yang paling tepat dan yang terakhir – yang tidak kalah pentingnya – adalah mencari persoalan potensial yang mungkin muncul karena keputusan yang telah kita putuskan dan tentu mengantisipasinya. Dalam perjalanan berkeluarga biasanya ada empat masa yang perlu diwaspadai, yaitu masa susu dan madu, dilanjutkan dengan masa kecewa, masa kedua perlu diatasi dengan masa penerimaan, dan berakhir dengan masa keselarasan, di mana setiap pasangan mengalami masing-masing masa tersebut secara unik dan berbeda satu sama lain baik dalam kaitan waktunya maupun pemicunya.
Karakter yang perlu dibangun
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu karakter. Emmanuel Mounier dalam bukunya The Character of Man (1956) menjelaskan dari dua perspektif. Yang pertama Mounier melihat karakter sebagai sejumlah kondisi yang given, sudah ada begitu saja dalam diri seseorang. Yang kedua kondisi-kondisi yang merupakan hasil latihan terus menerus, sesuatu yang dikehendaki untuk dimiliki. Ada banyak karakter yang dituntut dalam usaha menjadi seorang entrepreuner, seperti percaya diri, berani menerima risiko, berorientasi pada masa depan, jujur, tekun, disiplin, memiliki komitmen yang tinggi, dan masih banyak yang lain. Syukurlah bila karakter yang dituntut itu sudah ada dalam diri kita, namun bila belum bisa dilatih. Pada kesempatan ini saya akan fokus pada percaya diri dan komitmen yang tinggi.
Percaya diri merupakan suatu karakter yang sangat penting bagi seorang entrepreuner, mengapa? Karena bila seorang entrepreuner tidak atau kurang percaya pada dirinya sendiri bahwa dia mampu untuk merealisasi impiannya maka pasti akan menemui banyak sekali hambatan, dan hambatan-hambatan itu datang dari dirinya sendiri. Sebagai orang kristiani saya yakin bahwa kita lebih mudah untuk membangun kepercayaan diri tersebut. Mengapa? Karena kita diciptakan sebagai Citra Allah (Kej.1:26-27), sebagai puncak dari seluruh karya penciptaan Allah. Bila kita memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan manusia sejak konsepsi sampai lahir dan selanjutnya menjadi manusia dewasa, maka bila kita memperhatikan sejak kelahiran sampai balita, maka anak-anak itu cenderung percaya pada dirinya sendiri, bayi itu mulai belajar tengkurap, belajar merangkak, belajar berdiri, belajar bicara, belajar jalan, lari dan kemudian ingin mencoba dan mulai bertanya banyak hal. Sejak mulai mampu berjalan sendiri, banyak orang tua yang cenderung terperangkap pada sikap over-protective (sikap terlalu melindungi), sikap terlalu melindungi ini bisa menggerus kepercayaan diri anak sedikit demi sedikit. Saya teringat seorang pendidik yang bernama Christopher Gleeson, SJ, yang dalam bukunya yang berjudul Teaching Values and Freedom (1993) mengatakan bahwa salah satu tugas utama orangtua adalah memberi akar dan sayap (memberi nilai-nilai dan kebebasan yang bertanggungjawab) dan itu harus dimulai sedini mungkin.
Selanjutnya hal penting lain yang perlu sedikit dielaborasi adalah komitmen. Tidak mudah menemukan istilah dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkannya, maka hanya ditranskrip saja. Saya menemukan penjelasan dalam bahasa Inggris yang sangat bagus, yaitu commitment means: Here I am, you can count on me, I won’t fail you. Dengan kata lain komitmen tidak lain adalah ke-siapsedia-an. Komitmen juga mengandung kepercayaan akan seseorang, kesediaan memberikan waktu bagi orang lain dan kesediaan menjadi bagian.
Penutup
Dengan demikian berkeluarga berarti berwirausaha, dalam arti berusaha dengan sekuat-kuatnya menjadi ’diri sendiri’ dan yang sesuai dengan rencana Allah. Lewat usaha membangun relasi yang dialogis dan mengembangkan suatu budaya keluarga, yang tidak lain suatu budaya keluarga pembelajar.
Bogor, akhir Juli 2012
Langganan:
Postingan (Atom)