Dengan blog ini saya bermaksud untuk berbagi pemikiran mengenai masalah-masalah keluarga dan masalah-masalah filosofis dan teologis.
Sabtu, 14 Juli 2012
Keluarga Yang Berziarah, ke mana?
Stanislaus Nugroho
Istilah berziarah tidak asing bagi umat katolik, setiap tahun pada bulan Mei dan Oktober misalnya, banyak umat katolik yang berziarah ke gua Maria, entah di Sendangsono entah Pohsarang, entah di tempat-tempat ziarah yang lain. Tapi bukan itu yang ingin kami bicarakan.
Yang ingin kami bicarakan adalah peziarahan keluarga dalam usaha mencapai dan melaksanakan rencana Allah perihal perkawinan dan keluarga. Apa yang menjadi rencana Allah berkaitan dengan perkawinan dan keluarga? Apa yang menjadi tantangan yang dihadapi pada masa sekarang oleh keluarga-keluarga saat ini. Apa kiat-kiat yang perlu dilakukan agar kita dapat tetap konsisten dengan usaha mencapai dan melaksanakan rencana Allah?
Apa yang menjadi rencana Allah dengan perkawinan dan keluarga?
Agar dapat menjawab pertanyaan ini maka tidak ada lain cara selain bertanya pada Allah. Jawaban Allah bisa kita temukan dalam Kitab Suci. Bila kita membuka Mt.19:1-12 (lihat juga Kej. 2:24; Mk.10:1-12; Ef.5:31) maka saya pikir kita bisa menemukan apa yang menjadi rencana Allah dalam hal perkawinan. Perkawinan bagi Allah tidak lain adalah kesejolian, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sehingga keduanya menjadi satu daging, maksudnya mereka berdua dipersatukan secara penuh, secara eksklusif dan tak terputuskan, dalam bahasa penginjil ’apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia’ (Mt.19:6b, Mk.10:9). Dengan demikian maka mereka yang menikah akan dapat menjadi tanda (sakramen) kasih Allah kepada dunia (Ef.5:32), mereka mengeksplisitasikan relasi Kristus dengan Umat.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana, S.J., Obor, 1993) di dunia dewasa ini (selanjutnya akan digunakan singkatan GS) art. 47-52 berbicara tentang martabat perkawinan dan keluarga, secara jelas menyatakan bahwa perkawinan dan keluarga merupakan ’Persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali”. (art.48).
Selanjutnya, Beato Johanes Paulus II, dalam Familiaris Consortio, 1981 (selanjutnya akan digunakan singkatan FC) menjabarkan lebih lanjut apa yang sudah dicanangkan oleh Konsili Vatikan II dengan menulis ”.... keluarga bukan hanya menemukan jati dirinya, keluarga itu apakah sebenarnya, melainkan juga perutusannya, yakni apa yang dapat dan harus dijalankannya” (art. 17) dan itu tidak lain terungkap pada empat tugas utama bagi keluarga, yaitu: ”membentuk persekutuan pribadi-pribadi; mengabdi kepada kehidupan; ikut serta dalam pengembangan masyarakat; dan berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja” (art.17).
Dalam usaha membentuk persekutuan pribadi-pribadi maka keluarga hendaknya menjadikan cintakasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan, karena tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi, dan itu hendaknya diawali dengan cintakasih yang tulus antara suami dan isteri dan selanjutnya antar seluruh anggota dalam satu keluarga yang bersangkutan, antara orangtua dan anak-anak, antara kakak dan adik, antar kaum kerabat dan para anggota se rumah tangga (FC, art.18). Inti dari cintakasih tidak lain adalah ’memberikan diri’ kepada sesamanya, khususnya pasangan kita masing-masing, sebagaimana telah diberikan contoh konkret oleh Kristus Yesus yang telah memberikan diri sehabis-habisnya kepada pasanganNya, yaitu Gereja (Umat).
Selanjutnya tugas umum yang kedua dari keluarga adalah mengabdi kepada kehidupan. Berkaitan dengan tugas umum yang kedua ini maka dalam ’kerjasama dengan cintakasih Allah Sang Pencipta’ suami isteri diundang untuk ikut berperanserta dalam cintakasih dan kekuasaanNya sebagai Pencipta dan Bapa, melalui kerjasama mereka secara bebas dan bertanggungjawab dalam menyalurkan kurnia kehidupan manusiawi: ’Allah memberkati mereka, dan Allah bersabda kepada mereka: ’jadilah subur dan berkembang biaklah, dan penuhilah serta kuasailah bumi’ (FC, art 28). Dengan kata lain, tugas asasi keluarga ialah mengabdi kepada kehidupan, mewujudkan secara konkret dalam sejarah berkat Sang Pencipta pada awal mula, yakni: melalui prokreasi (pengadaan keturunan) menyalurkan gambar ilahi dari pribadi ke pribadi” (FC, art. 28). Tugas ini sangat luhur, karena lewat perkawinan kelangsungan umat manusia menjadi nyata dan kudus.
Tugas umum ketiga dari keluarga adalah ikut serta dalam pengembangan masyarakat. Keluarga hidup, bersama dan untuk masyarakat karena keluarga merupakan sel pertama dan vital bagi masyarakat, tanpa keluarga-keluarga tidak ada masyarakat. ”Begitulah keluarga sama sekali tidak terkungkung dalam dirinya melainkan menurut hakekat serta panggilannya terbuka bagi keluarga lain dan bagi masyarakat, serta menjalankan peranan sosialnya” (FC, art. 42). Lewat keikutsertaan keluarga-keluarga secara tulus dalam pengembangan masyarakat maka kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat manusia akan menjadi nyata.
Tugas umum keempat dari keluarga adalah berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja. Gereja adalah kita semua yang mengaku sebagai pengikut, murid dan sekaligus sahabat dari Kristus Yesus, maka dengan sendirinya kita semua bertanggungjawab dalam kehidupan dan misi Gereja. ”Keluarga dipanggil untuk pengabdian demi pembangunan Kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja” (FC, art 49).
Apa yang menjadi tantangan-tantangan keluarga dewasa ini?
Berkaitan dengan tugas membentuk persekutuan pribadi-pribadi maka tantangan yang menghadang dihadapan kita adalah individualisme (= married but single) dan materialisme (pola hidup yang sangat konsumtif).
Berkaitan dengan tugas mengabdi kepada kehidupan maka tantangan utama keluarga dewasa ini adalah budaya kematian, yang menjadi nyata dalam tindakan aborsi, yang dewasa ini menggejala di mana-mana.
Berkaitan dengan tugas ikut serta dalam pengembangan masyarakat maka tantangan yang harus kita atasi adalah menggejalanya sikap apatis, sikap cuek terhadap penyakit-penyakit sosial yang ada masyarakat kita dewasa ini. Dewasa ini kita sedang terjangkit banyak penyakit sosial (dalam bahasa Nota Pastoral 2004: rusaknya keadaban publik), seperti: korupsi, kekerasan, dan kehancuran lingkungan. Selanjutnya FABC papers no. 111, yang bertema The Asian Family towards a culture of integral life, dengan jelas menyebut kemiskinan sebagai penyakit sosial yang mencolok di Asia (art. 12). Akhirnya bila kita membuka telinga dan mata hati kita maka kita bisa menemukan dua penyakit sosial yang sangat menggejala dewasa ini, yaitu penyalahgunaan obat-obatan (menurut apa yang dilangsir oleh Granat (yang dikomandani oleh Henry Yosodiningrat), maka dewasa ini ada lima juta orang Indonesia yang kecanduan narkoba, dan setiap hari 50 orang meninggal dunia karena narkoba) dan pola hidup seks-bebas atau lebih tepat pola hidup ‘menjadi-budak-seks’.
Akhirnya berkaitan dengan tugas berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja kembali adanya sikap apatis, sikap cuek terhadap kehidupan dan misi Gereja, yang mau aktif ya orang-orang itu-itu saja. Kesan saya – bisa salah tentunya – mencari orang yang mau aktif di seputar altar masih lebih mudah dibandingkan mencari orang yang mau aktif di bidang kegiatan sosial, entah itu di Pengembangan Sosial Ekonomi, entah itu di kerasulan keluarga, maupun kegiatan social yang lain.
Apa kiat-kiat yang perlu dibangun agar kita tetapdapat konsisten berziarah menuju pelaksanaan tugas umum keluarga?
Keempat tugas umum tersebut di atas merupakan tugas yang luhur dan sangat menantang, namun dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, musuh utamanya tidak lain adalah diri kita sendiri. Kita sibuk dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang sering tidak perlu, karena di luar kendali kita. selain itu kemauan untuk berbagi apa saja yang kita miliki masih perlu ditingkatkan. Dalam kaitan dengan itu maka ada beberapa langkah yang perlu kita tidak lanjuti.
Yang pertama adanya kemauan pada diri kita untuk melakukan proses mawas diri secara terus menerus. Dengan bermawas diri maka kita dapat tahu sudah sampai di mana dan mau ke mana dengan hidup kita ini. Bila kita membiarkan hidup ini sekadar mengalir bagaikan sungai, maka kita tidak akan tahu kita sudah di mana dan mau ke mana, sudah pada jalur yang benar dalam rangka panggilan dan rencana Allah atau belum.
Yang kedua sebagai manusia kita adalah pribadi yang unik dan belum selesai, kita masing-masing masih terus berkembang dan menjadi, atau lebih tepat kita masih dalam proses mengutuh. Keutuhan kita tergantung bagaimana usaha kita untuk mensinergikan empat talenta dasar yang kita terima dari Sang Pencipta, yaitu kecerdasan intelektual atau kecerdasan rasional yang tidak lain merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi secara masuk akal. Selanjutnya kita memiliki apa yang dikenal sekarang ini dengan kecerdasan emosional, yang tidak lain adalah kemampuan kita untuk berempati, berbelarasa baik dalam suka maupun duka. yang ketiga kita memiliki kecerdasan moral, di mana kita mampu untuk membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Akhirnya kita memiliki suatu kecerdasan yang dikenal sebagai kecerdasan spiritual, suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menemukan makna hidup, yang berkaitan dengan nilai (= value) dan iman. Menjadi tugas kita untuk mensinergikan keempat kecerdasan tersebut agar kita menjadi manusia yang utuh.
Yang ketiga manusia sebagai makhluk sosial (menjadi nyata dalam keluarga) kita mempunyai kewajiban untuk membangun budaya dialog, yang dicirikan oleh kemampuan untuk mendengarkan dan kemampuan untuk mengkomunikasi diri kita seutuhnya, baik perasaan, pikiran maupun perlaku kita. mungkin baik bila kita sering merenungkan apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus lewat perumpamaan tentang seorang penabur (Mt. 13:1-23; bdk Mk. 4:1-20; Lk. 8:4-15).
Akhirnya kita perlu memngusahakan dengan sungguh-sungguh terciptanya keutuhan ciptaan. Inilah tujuan perziarahan kita, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial dan bagian dari alam semesta ini dalam dan lewat keluarga. Selamat berziarah!
Bogor, awal Juli 2012
Langganan:
Postingan (Atom)