Dengan blog ini saya bermaksud untuk berbagi pemikiran mengenai masalah-masalah keluarga dan masalah-masalah filosofis dan teologis.
Rabu, 28 November 2012
Teologi Tubuh, belajar dari Beato Yohanes Paulus II
Berbicara tentang Teologi Tubuh maka kita sebenarnya berbicara tentang suatu buku yang memuat 129 ceramah plus 3 appendiks, dengan jumlah halaman 603 halaman, yang dibawakan oleh Beato Yohanes Paulus II untuk para pendengarnya dalam setiap audiensi umum sejak tanggal 5 September 1979. Ceramah-ceramah tersebut bagi John S. Grabowski merupakan suatu ‘magnificent vision’ (cfr. Foreword, yang ditulis oleh John S. Grabowski, dalam buku The Theology of the Body. Human Love in the Divine Plan, 1997, hal. 19) dari Beato Yohanes Paulus II tentang tubuh-manusia.
Buku tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat dua tema besar. Tema pertama yang memuat 23 sub tema membahas tentang kesatuan laki-laki dan perempuan pada awal mulanya sebagaimana digambarkan dalam Kitab Kejadian. Sedang tema kedua memuat 27 sub tema yang membahas tentang hati manusia yang terberkati sebagaimana digambarkan dalam Khotbah di Bukit. Bagian kedua memuat satu tema besar dengan tema hidup sesuai dengan Roh, tema besar ini terdiri dari lima sub tema, yaitu ajaran Santo Paulus tentang tubuh manusia, kebangkitan badan, hidup selibat, sakramentalitas perkawinan dan refleksi tentang Humanae Vitae. Lalu 3 apendiks yang berbicara tentang tentang Hidup Manusia, tentang Martabat dan Panggilan Perempuan dan tentang Injil Kehidupan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membicarakan seluruh buku tersebut, tetapi setelah membaca buku tersebut maka saya ingin menyampaikan suatu sinopsis singkat tentang tema pertama dari bagian pertama yang berbicara tentang Kesatuan asali antara laki-laki dan perempuan. Suatu katekese berdasarkan Kitab Kejadian.
Saya teringat akan suatu ungkapan yang berbunyi ”Seorang filsuf besar hanya memiliki satu kata, dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk hanya mengatakan satu kata itu”. Rocco Buttiglione seorang filsuf dan politisi Italia yang tidak lain adalah sahabat dari Beato Yohanes Paulus II menyatakan bahwa sebagai filsuf Beato Yohanes Paulus II memiliki satu kata kunci dan itu tidak lain adalah kata PRIBADI.
Begitu pula dengan Avery Dulles SJ, seorang teolog dan sekaligus seorang kardinal, dalam tulisannya yang berjudul John Paul II and the Mystery of The Human Person yang dapat kita temukan di America, vol. 190, no. 3, February 2, 2004 menyatakan bahwa “theologically the Pope is a personalist”. Mengapa demikian? Karena bagi Beato Yohanes Paulus II ’pribadi sebagai subyek’ ditempatkannya sebagai inti gagasannya. Hal itu dilatarbelakangi oleh keyakinannya akan misteri penciptaan, di mana manusia diciptakan sebagai citra Allah. Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila dalam surat apostoliknya yang berjudul Mulieris Dignitatem (1988) tertulis kalimat sebagai berikut ”Menjadi manusia berarti dipanggil ke dalam persekutuan interpersonal”, maka bagi Beato Yohanes Paulus II relasi antar manusia tidak lain adalah relasi kesetaraan sehingga perbedaan yang ada, juga dalam hal perbedaan gender sekalipun, haruslah ditandai dengan prinsip kesetaraan antara yang satu dengan lainnya, dan itu menjadi nyata dalam prinsip partisipasi. Dengan sedikit menguraikan kata kunci yang dimiliki oleh Beato Yohanes Paulus II maka kita akan lebih siap mengikuti rangkaian audiensi umum yang dibawakannya.
Sudah pada audiensi umum yang pertama (5 September 1979) Beato Yohanes Paulus II mengutip Injil Mateus bab 19 yang berbicara tentang relasi lelaki dan perempuan khususnya dalam perkawinan (ayat 1-12). Pertama-tama bagi Beato Yohanes Paulus II ada satu kata yang sangat penting yang dikatakan Yesus sampai dua kali, yaitu kata sejak semula (pada ayat 4 ’.... Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka lelaki dan perempuan’; dan pada ayat 8 (’....sejak semula tidaklah demikian). Bagi Beato Yohanes Paulus II bahwa sejak semula Allah telah memiliki grand desain tentang penciptaan pada umumnya dan khususnya dalam penciptaan manusia. Selanjutnya Beato Yohanes Paulus II memfokuskan uraiannya dalam kaitan dengan Kitab Kejadian tentang penciptaan manusia baik pada bab 1 maupun bab 2.
Dalam uraiannya Beato Yohanes Paulus II mulai dengan Kej.1:26a ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, .....”. Ayat ini dikaitkannya dengan Kej.1:27 yang berbunyi ”Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan”. Berkaitan dengan kedua ayat tersebut maka bagi Beato Yohanes Paulus II Allah menciptakan manusia sebagai gambar dan rupaNya menjadi nyata dan utuh dalam lelaki dan perempuan. Pemikiran tersebut akan menjadi lebih jelas bila kita mengikuti uraian selanjutnya lebih-lebih yang berkaitan dengan tiga konsep penting yang digunakannya, yaitu original solitude (kesendirian orisinil); original unity (kebersatuan orisinil) dan original nakedness (ketelanjangan orisinil).
Selanjutnya Beato Yohanes Paulus II mengacu pada Kej.2:7 ”Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”. Dibandingkan dengan yang dijelaskan pada Kej.1:26-27 maka kisah yang kedua jauh lebih rinci. Ada dua istilah penting pada kisah kedua yang perlu dielaborasi, yang pertama debu tanah dan yang kedua nafas hidup. Mengenai debu tanah yang merupakan terjemahan dari kata Ibrani adamah dibentuklah manusia yang dalam bahasa Ibrani istilah yang dipakai adalah adam. Dengan demikian istilah adam tidak mengacu pada nama-diri melainkan mengacu pada nama genus, dikenakan pada setiap makhluk yang bernama manusia, selain itu menurut para ahli tafsir Kitab Suci istilah adam juga mengacu pada tubuh manusia itu sendiri. Hal kedua yang perlu dielaborasi adalah nafas kehidupan, Allah menghembuskan nafas kehidupan pada adam (tubuh manusia)melalui lubang hidung. Berkat nafas kehidupan maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain (yang tidak mendapat hembusan nafas kehidupan dari Allah, berkat nafas kehidupan tersebut maka adam menjadi tubuh manusia yang hidup. Kemudian oleh Allah adam ditempat di taman eden untuk mengelola ciptaan Allah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkat ketubuhannya manusia berada secara unik, manusia menjadi subyek. Berkaitan dengan itu maka Beato Yohanes Paulus II pada tanggal 19 September 1979 – pada saat audiensi umum – menyatakan ”kita mencapai keyakinan bahwa subyektivitas ini berhubungan dengan kenyataan obyektif bahwa manusia diciptakan ’sebagai gambar Allah’. Dan juga kenyataan ini adalah – dengan cara yang berbeda – penting bagi teologi tubuh” (TOB, 19-9-1979).
Berkaitan dengan itu Beato Yohanes Paulus II kemudian mengajak kita semua untuk mengelaborasi tiga pengalaman dasar adam (manusia) sejak dia menjadi adam yang hidup.
Pengalaman dasar yang pertama disebut oleh Beato Yohanes Paulus II sebagai pengalaman kesendirian orisinil. Apa yang dimaksud dengan kesendirian orisinil? Manusia yang memiliki daya hidup dari Allah dan sekaligus menjadi gambar dan rupa Allah juga memiliki kesadaran, berkat kesadarannya manusia melihat bahwa makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya berbeda dengan dirinya, manusia sadar bahwa dia berbeda makhluk-makhluk lain yang biarpun diciptakan oleh Allah namun tidak memiliki nafas kehidupan seperti dirinya. Berkat nafas kehidupan manusia dengan ketubuhannya menjadi persona menjadi pribadi, menjadi subyek. Oleh karenanya dalam diri manusia ada kerinduan untuk memiliki teman yang setara dengannya. Dalam kaitan ini Beato Yohanes Paulus II mengatakan bahwa ”kesadaran akan kesendirian bisa disingkirkan justru oleh tubuh itu sendiri. Mendasarkan diri pada pengalaman akan tubuhnya, manusia (adam) dapat sudah mencapai kesimpulan bahwa ia secara mendasarkan nirip dengan segala makhluk hidup lain (animalia). Tetapi seperti kita baca, ia tidak sampai pada kesimpulan ini, tetapi sesungguhnya mencapai keyakinan bahwa ia ”seorang diri” (TOB, 24-10-1979). Pada Kej.2:20b tertulis ”tetapi bagi dirinya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia”, inilah pengalaman kesendirian orisinil yang disadari oleh manusia.
Pengalaman dasar yang kedua disebut oleh Beato Yohanes Paulus II sebagai kebersatuan orisinil. Dalam kaitan ini ayat yang perlu dielaborasi adalah Kej.2:21-23 ”Lalu Tuhan Allah manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawanNya kepada manusia itu. lalu berkatalah manusia itu: ’Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki’”. Yang menarik perhatian adalah istilah laki-laki dan perempuan yang digunakan oleh manusia (adam). Mengapa menarik? Dalam kutipan tersebut jelas bahwa manusia (adam) menyadari bahwa dia menemukan persona lain yang setara dengan dirinya (lihat ayat 23a ”.... inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”. Selanjutnya dalam bahasa Ibrani dikenal kata ish yang diterjemahkan sebagai lelaki, sedang untuk kata perempuan dalam Ibrani digunakan kata ishshah, dengan demikian adam (manusia) yang sekarang menyebut dirinya laki-laki menemukan adam (manusia) yang lain yang disebutnya sebagai perempuan, maka kerinduan dasar dalam diri manusia sebagai persona untuk menemukan persona lain yang setara terkabul sudah. Kemuddian pada Kej.2:24 tertulis ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Perjumpaan antara laki-laki dan perempuan menjadi makin nyata dalam persatuan yang mendalam antara laki-laki dan perempuan lewat tubuhnya masing-masing, di mana mereka berdua menjadi ’satu daging’. Yang paling menarik dari semuanya itu adalah apa yang dikatakan leh Beato Yohanes Paulus II bahwa ”persetubuhan tidak lain adalah sebuah tindakan teologis” karena bagi Beato Yohanes Paulus II dengan kebersatuan dua tubuh itu berarti bersatunya dua persona, dan itu semua berkat penyelenggaraan Allah sebagaimana dikatakan oleh Beato Yohanes Paulus II sebagai berikut ”... manusia menjadi gambar Allah tidak hanya melalui kemanusiaannya, melainkan juga melalui persatuan pribadi-pribadi (communio personarum), yang sejak awal mula dibentuk oleh lelaki dan perempuan....” (TOB, 14-11-1979).
Pengalaman dasar ketiga yang diperkenalkan oleh Beato Yohanes Paulus II adalah ketelanjangan orisinil, berkaitan dengan ini maka teks yang akan dipakai sebagai acuan adalah Kej.2:25 ”Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu”. Ada dua hal penting yang terkandung dalam teks tersebut yaitu ’mereka berdua telajang’ dan bahwa ’mereka tidak malu’. Pertanyaan yang muncul dalam diri kita adalah ’mengapa mereka tidak merasa malu biarpun telanjang?’
Berkaitan dengan kutipan tersebut maka Beato Yohanes Paulus II berkata ”Dengan kesadaran akan arti tubuhnya sendiri manusia sebagai lelaki dan perempuan masuk ke dalam dunia sebagai subyek kebenaran dan cinta. Bahkan bisa dikatakan bahwa Kejadian 2:23-25 berbicara tentang pesta perayaan kemanusiaan yang pertama, seolah-olah dalam kepenuhan pengalaman asali akan arti nupsial tubuh: dan itu adalah sebuah pesta perayaan kemanusiaan yang menimba asal usulnya dari sumber-sumber ilahi. Kebenaran dan cinta di dalam misteri penciptaan itu sendiri” (TOB, 20-2-1980). Dengan demikian baginya ketelanjangan itu suatu kekudusan, dan itu menjadi nyata dalam persatuan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Di mana di dalam dan lewat perkawinan kedua pribadi mampu membangun keterbukaan diri (fisik, psikologis maupun spiritual) yang dilandasi oleh kebenaran, kasih dan hormat). Saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan oleh seorang pemikir abad 20 yang bernama Martin Buber (1878-1965), bagi Buber relasi antara manusia dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu Ich – Es atau I – It atau Saya – Itu dan Ich – Du atau I - Thou atau Saya – Engkau. Apa yang dimaksud oleh Buber? Maksudnya relasi Aku – Itu menandai dunia di mana saya menggunakan benda-benda, memperalat benda, atau dengan kata lain relasi saya dengan yang-lain merupakan relasi subyek – obyek dan bukan relasi subyek – subyek. Dalam kaitan ini Buber menggunakan istilah bahasa Jerman Erfahrung. Sedang yang dimaksud dengan relasi Aku – Engkau adalah dunia di mana Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku, sehingga menjadi suatu dialog yang utuh dan sejati. Dalam dunia ini maka relasi antar manusia adalah relasi antar subyek, antar pribadi (persona). Bagi Buber dalam dunia ini Aku tidak menggunakan, atau memperalat Engkau, melainkan Eku berjumpa (encounter) dengan Engkau, Aku dan Engkau saling memperkaya, terjadi suatu sinergi. Dalam kaitan ini Buber menggunakan istilah Jerman Beziehung.
Betapa indahnya keluarga yang ditandai dengan relasi ketersalingan antar pribadi ( suami – isteri; orangtua – anak) , sebuah pekerjaan rumah yang sungguh menantang? Inilah setitik pemikiran yang tertuang dalam buku The Theology of The Body. Human Love in the Divine Plan, yang sempat saya ungkapkan dalam terbitan kali ini.
(Stanislaus Nugroho, Seorang Aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor)
Selasa, 30 Oktober 2012
KELUARGA = GEREJA RUMAH TANGGA?
Sekitar dasa warsa 70-an abad yang lalu saya mulai mendengar istilah Gereja Rumah-tangga dikenakan kepada keluarga, dan itu sebenarnya berkat Konsili Vatikan II yang – pada Konstitusi Dogmatis tentang Gereja – menggunakan istilah Gereja Rumah-tangga (Ecclesia Domestica) sedang dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam Konsili mengenakan istilah ‘keluarga sebagai ruang ibadat Gereja di rumah’.
Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Dogmatis tentang Gereja menyatakan bahwa “Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orangtua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orangtua wajib memelihara mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (art. 11).
Selanjutnya dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam Konsili Vatikan II menyatakan bahwa ”Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui cinta kasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah (art. 11).
Dari kedua kutipan tersebut di atas dapat disimpulkan dua hal. Yang pertama bahwa Konsili Vatikan II mau menunjukkan bahwa peranan orangtua yang utama tidak lain adalah sebagai sepasang katekis bagi anak-anak mereka, terutama dengan memberikan keteladanan dalam hidup sehari-hari. Yang kedua keluarga diharapkan dapat menjadi tanda kasih Allah kepada umat manusia, lewat usaha-usaha mereka membangun sebuah persekutuan hidup dan kasih, dengan demikian maka keluarga dapat menjadi garam dan terang bagi masyarakat di sekitarnya, di mana masyarakat kita sekarang yang hidup dalam abad elektronik dan digital ini mengalami mabuk kepayang terhadap teknologi. Seolah-olah teknologi telah menjadi segala-galanya.
Pada Kongres Internasional tentang Keluarga yang diadakan di Milano pada tahun 1981 Eric McLuhan putera dari Marshall McLuhan membawakan sebuah makalah yang berjudul The Family on the Electronic Age mengatakan bahwa ”Dalam abad atom ini, keluarga modern dapat dikategorikan sebagai ’nuclear’ (inti), yang berarti bagian yang paling dasar. Ini berarti bahwa keluarga, seperti atom, mudah terbelah dan disertai dengan penghancuran dan perubahan besar”. Keterpecahan keluarga saat ini bukan lagi sebuah impian melainkan sebuah kenyataan yang nyata dalam hidup kita sehari-hari pun dalam keluarga kristiani sekalipun. Rumah tanggan sudah berubah menjadi rumah kost.
Kembali ke tema keluarga sebagai Gereja rumah-tangga maka Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, 2007, halaman 416 menjabarkan kedua pandangan Konsili Vatikan II tersebut di atas dalam empat nomor, dari 1655 sampai dengan nomor 1658 (bagi mereka yang ingin memperdalam bisa membaca juga Familiaris Consortio,1981, art. 49, 51 – 55, 59, 62-64).
Ada baiknya bila penjelasan tersebuat saya kutip di bawah ini:
1655 Kristus memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yosef dan Maria. Gereja itu tidak lain dari ”keluarga Allah”. Sejak awal, pokok Gereja sering kali dibentuk dari mereka yang menjadi percaya ”dengan seluruh keluarganya” (Kis.18:8). Ketika mereka bertobat, mereka juga menginginkan, agar ”seisi rumah mereka” menerima keselamatan (Kis.16:31). Keluarga-keluarga yang menjadi percaya ini adalah pulau-pulau kehidupan Kristen dalam dunia yang tidak percaya.
1656 Dewasa ini, di suatu dunia yang seringkali jauh dari iman atau malahan bermusuhan, keluarga kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua ”Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (LG 11). Dalam pangkuan keluarga ”hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka ; orangtua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing secara istimewa panggilan rohani” (LG11,2).
1657 Di sini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah ”dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi jkesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan ”suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.
1658 Lita harus memperhatikan lagi satu kategori umat, yang akibat situasi nyata kehidupannya – yang sering tidak mereka pilih secara sukarela – begitu dekat dengan hati Yesus dan karena itu patur mendapat penghargaan dan perhatian istimewa dari pihak Gereja, terutama dari para pastor; jumlah besar kelompok orang yang tidak kawin. Banyak dari mereka hidup tanpa keluarga manusiawi, karena mereka miskin. Beberapa orang menanggulangi situasi kehidupan mereka dalam jiwa sabda bahagia, di mana mereka dengan sangat baik mengabdi kepada Allah dan sesama. Bagi mereka semua, harus dibuka pintu , ”Gereja-rumah tangga” dan pintu keluarga besar, Gereja. ”Tidak ada seorang pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi sia pun juga, khususnya bagi mereka yang ’letih lesu dan berbeban berat’ (Mt.11:28)” (FC 85).
Pada bulan Januari 2011 Konferensi Waligereja Indonesia meluncurkan sebuah buku yang berjudul Pedoman Pastoral Keluarga (selanjutnya akan dikutip dengan PPK) . Buku tersebut merupakan ”... wujud dari kasih pastoral Konferensi Waligereja Indonesia untuk membimbing, mengilahi dan menyemangati keluarga-keluarga dan mereka yang giat dalam kerasulan keluarga. Pedoman ini berisi kerangka pikir, nilai teologis dan moral di hadapan realitas kehidupan sekarang” (PPK, hal.ix-x).
Pada halaman 15-18 art. 17 PPK secara khusus berbicara tentang Keluarga adalah Gereja Rumah Tangga. Kalimat pertama menegaskan bahwa ”Berkat Sakramen Baptis, suami isteri dan anak-anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat dan dan rajawi. Dengan martabat kenabian, mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan martabat imamat, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen-sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama”.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa ”Berkat Sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Keluarga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma) yang baru.
Bila kita mempelajari dan merenungkan kutipan-kutipan tersebut di atas maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
pertama keluarga diharapkan menjadi seminari perdana, di mana orang tua menjadi penabur benih iman pada hati anak-anak mereka lewat cerita-cerita Kitab Suci misalnya, dan yang paling utama lewat keteladanan dalam pengamalan imannya. Dengan demikian keluarga menjadi pusat iman yang hidup.
Yang kedua, keluarga diharapkan menjadi wahana bertumbuhkembangnya imamat-umum yang kita terima berkat pembaptisan, maksudnya dengan menyambut sakramen-sakramen, berdoa dan mengkonkretkan kasih (sebagai diungkapkan oleh Rasul Paulus lewat suratnya 1Kor.13:4-7, yang berbunyi ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan, sabar menanggung segala sesuatu”) dalam hidup sehari-hari.
Yang ketiga keluarga kristiani diharapkan menjadi gambar konkret dari persekutuan umat Allah, yaitu suatu persekutuan hidup dalam iman, harapan dan kasih.
Dan yang keempat dan terakhir, keluarga diharapkan – sejak dini – menjadi wahana dalam usaha membangun kepedulian (caring) kepada mereka yang membutuhkan, khususnya mereka-mereka yang terpinggirkan oleh proses globalisasi dan pemujaan pada globalisme sekarang ini, sebagai wujud pewartaan Kabar Gembira sebagaimana diwartakan dan dinyatakan lewat perbuatan konkret oleh Kristus Yesus Tuhan kita. Sebuah tantangan dan sekaligus pekerjaan rumah bagi kita semua sebagai orang Kristiani, yang tidak lain adalah pengikut, murid dan sahabat dari Kristus Yesus. Untuk itu mari kita bergandengan tangan untuk saling meneguhkan dalam usaha komit pada tantangan dan pekerjaan rumah tersebut lewat pelaksanaan tugas-tugas kita sehari-hari secara konsisten, dan tidak lupa untuk mohon rahmatNya. Agar Roh Kudus membuka mata hati kita sekalian dan dengan demikian kita semakin waspada menghadapi tantangan dan hambatan yang ada dihadapan kita dan semakin konsisten untuk membangun keluarga kita sebagai Gereja Rumah-tangga (Stanislaus Nugroho, Aktivis Kerasulan Keluarga)
Jumat, 21 September 2012
Keluarga dan Kewirausahaan
Keluarga dan kewirausahaan
Stanislaus Nugroho
Berkaitan dengan tema tersebut di atas, muncul dalam diri saya suatu pertanyaan yang menggelitik saya. Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut: Apakah berkeluarga bisa dikatakan sebagai berwirausaha? Tentu makna kata wirausaha tidak dalam konteks yang umum kita mengerti, yaitu dalam konteks bisnis di bidang ekonomi semata.
Mungkin banyak di antara para pembaca bertanya-tanya: mengapa pertanyaan tersebut muncul dalam diri saya? Saya juga tidak tahu dengan tepat apa yang harus saya jawab atas pertanyaan anda. Tapi secara umum dapat saya katakan bahwa ’ada kemiripan di antara keduanya’. Salah satu kemiripan yang paling menonjol adalah keduanya mempunyai impian, biarpun isi impiannya pasti berbeda satu dengan lainnya. Baik seorang wirausahawan/wati maupun mereka yang berkeluarga memiliki impian. Selanjutnya ada hal lain yang juga mirip, yaitu karakter-karakter yang harus dimiliki baik oleh wirausahawan/wati maupun mereka yang berkeluarga.
Tulisan ini berusaha mengelaborasi baik masalah impian maupun masalah karakter. Namun sebelum itu saya akan mulai dengan mengklarifikasi istilah wirausaha atau wiraswasta. Istilah wiraswasta/wirausaha merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris, entrepreuner. Dalam buku The World Book Dictionary, jilid pertama (1978) istilah entrepreuner dijelaskan sebagai berikut ”a person who organizes and manages a business or industrial undertaking. An entrepreuner takes the risk …..’(p.707).
Kalau kita memperhatikan penjelasan dari The World Book Dictionary tersebut maka ada beberapa kata yang juga merupakan jawaban atas keserupaan yang saya sebutkan di atas, yaitu kata mengorganisasi, mengelola dan risiko. Tulisan ini akan berusaha mengelaborasi beberapa kata kunci dari keserupaan-keserupaan tersebut, yaitu: impian, mengorganisasi, mengelola, risiko dan karakter.
Impian keluarga kristiani
Pertama-tama saya akan mulai dengan kata impian. Berbicara tentang impian maka saya teringat akan seseorang yang bernama Burt Nanus yang buku-bukunya menjadi salah satu acuan saya bila saya harus berbicara tentang kepemimpinan. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Visionary Leadership (1992), maka bagi Nanus suatu visi tidak lain suatu impian, namun bukan sembarang impian. Yang namanya visi adalah suatu impian yang khas. Pada halaman 8 dia menulis ”quite simply, a vision is a realistic, credible, attractive future for your organization”.
Dengan kata lain bagi Nanus, suatu visi adalah suatu impian yang realistis, dapat dipercaya dan menarik untuk masa depan kita, sehingga menimbulkan greget (dorongan yang kuat) dalam diri kita untuk mencapainya. Bagi saya perlu ditambah bahwa impian itu harus spesifik, dapat dicapai karena terukur dan perlu memperhitungkan waktu yang kita miliki. Saya pikir keluarga-keluarga kristiani memiliki impian tentang keluarga yang sangat spesifik – sebagaimana ditulis oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada umat Efesus (5:32), di mana setiap keluarga kristiani harus bermimpi menjadi ’tanda cinta Allah yang tanpa reserve kepada UmatNya’. Biarpun untuk mencapai apa yang menjadi impian keluarga-keluarga kristiani sebagaimana diharapkan oleh Allah sendiri bukanlah pekerjaan mudah, perlu pengorganisasian yang tepat.
Keluarga sebagai organisasi
Secara umum kita dapat mendefinisikan organisasi sebagai suatu wahana di mana dua orang atau lebih bekerja sama baik secara rasional, emosional, terencana dan terkendali dalam mengelola sumber-sumber daya yang ada (misalnya manusia sebagai insan karya, uang, waktu, sarana dan prasarana, dan lain-lain) demi mencapai suatu tujuan bersama. Berkaitan dengan definisi tersebut maka keluarga bisa dilihat sebagai organisasi, bahkan mungkin organisasi yang paling tua di dunia. Bagi organisasi – pada umumnya – pasti hanya ada satu ’komandan’, dalam hal ini keluarga sebagai organisasi memiliki keunikannya. ’Komandan’ dalam keluarga adalah sepasang suami-isteri, karena sepasang suami isteri bukan lagi dua melainkan satu (bdk. Kej.2:24). Dalam hal ini maka sepasang suami isteri perlu mengembangkan dan menerapkan manajen komunikasi yang dikenal dengan istilah dialog. Dialog merupakan komunikasi hati penuh kebaikan (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52), yang tidak lain berarti ’suatu perbincangan yang dimaksudkan untuk menghasilkan saling pengertian, saling memahami, saling menerima, dengan tujuan akhir terciptanya kebersamaan yang damai dan tercapainya kesejahteraan bersama’ (bonum commune). Dengan demikian dialog bukan tawar menawar, juga bukan konfrontasi, juga bukan berdiskusi atau berdebat. Dalam dialog pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya. Dengan saling berbagi maka yang bersangkutan makin diperkaya dan makin saling memahami satu dengan lainnya, dan dengan demikian akan dapat merealisasikan impiannya dengan baik.
Manajemen keluarga
Keluarga sebagai organisasi membutuhkan manajemen. Bagi Peter F. Drucker manajemen tidak lain adalah suatu ilmu yang melakukan studi tentang orang dan kinerjanya, dan sekaligus mempraktekkannya. Dengan menerapkan manajemen yang tepat memungkinkan orang untuk mengeksplisitasikan kemampuannya agar bisa berprestasi. Dengan perkataan lain manajemen bisa dirumuskan sebagai suatu aktivitas yang mampu mengembangkan potensi-potensi dari mereka yang menggunakannya agar semakin mampu menumbuhkembangkan kualitas hidupnya sedemikian rupa sehingga selaras dengan rencana Sang Pencipta. Maka saya paling suka dengan istilah yang digunakan oleh Drucker yaitu manajemen tidak lain adalah humanisasi. Kebutuhan akan manajemen keluarga yang mantap menjadi semakin tinggi karena adanya fenomena yang sangat fenomenal yaitu perubahan yang sangat luar biasa cepat dan substansial. Untuk itu maka keluarga perlu menerapkan suatu manajemen keluarga yang memungkinkan keluarga yang bersangkutan dapat tidak hanya menjadi keluarga yang bisa beradaptasi dengan lingkup kehidupan manusia yang minimal, melainkan keluarga yang bersangkutan mampu mengembangkan keluarganya sedemikian rupa sehingga bisa mengembangkan budaya keluarga yang menjadi ’roh’ agar dapat merealisasikan impian Tuhan sendiri terhadap keluarga-keluarga yang menjadi UmatNya, yaitu menjadi tanda cinta Tuhan yang tanpa reserve kepada umat manusia.
Risiko berkeluarga
Berkeluarga merupakan akibat suatu keputusan, keputusan yang dibuat secara sadar dan bebas serta berlandaskan cintakasih. Keputusan berarti mengatakan YA pada sesuatu dan mengatakan TIDAK pada yang lain. Dalam kaitan dengan keputusan maka kita tidak bisa menghindar dari risiko yang terkandung di dalam keputusan tersebut. Tidak setiap keputusan merupakan keputusan yang bersifat matematis, melainkan hampir sebagian besar keputusan yang berkaitan dengan kehidupan harus berhadapan dengan pilihan-pilihan majemuk. Dalam pelatihan Memecahkan Persoalan dan Pengambilan Keputusan, saya biasanya mengantarkan para peserta pelatihan untuk memahami dan kemudian mampu menerapkan empat langkah yang biasa saya sebut sebagai analisis situasi; analisis persoalan, analisis keputusan, analisis persoalan potensial. Menempatkan persoalan pada tempatnya/situasinya, merumuskan persoalan dengan jelas dan tepat; mencari alternatif-alternatif penyelesaian persoalan dan memutuskan pilihan yang paling tepat dan yang terakhir – yang tidak kalah pentingnya – adalah mencari persoalan potensial yang mungkin muncul karena keputusan yang telah kita putuskan dan tentu mengantisipasinya. Dalam perjalanan berkeluarga biasanya ada empat masa yang perlu diwaspadai, yaitu masa susu dan madu, dilanjutkan dengan masa kecewa, masa kedua perlu diatasi dengan masa penerimaan, dan berakhir dengan masa keselarasan, di mana setiap pasangan mengalami masing-masing masa tersebut secara unik dan berbeda satu sama lain baik dalam kaitan waktunya maupun pemicunya.
Karakter yang perlu dibangun
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu karakter. Emmanuel Mounier dalam bukunya The Character of Man (1956) menjelaskan dari dua perspektif. Yang pertama Mounier melihat karakter sebagai sejumlah kondisi yang given, sudah ada begitu saja dalam diri seseorang. Yang kedua kondisi-kondisi yang merupakan hasil latihan terus menerus, sesuatu yang dikehendaki untuk dimiliki. Ada banyak karakter yang dituntut dalam usaha menjadi seorang entrepreuner, seperti percaya diri, berani menerima risiko, berorientasi pada masa depan, jujur, tekun, disiplin, memiliki komitmen yang tinggi, dan masih banyak yang lain. Syukurlah bila karakter yang dituntut itu sudah ada dalam diri kita, namun bila belum bisa dilatih. Pada kesempatan ini saya akan fokus pada percaya diri dan komitmen yang tinggi.
Percaya diri merupakan suatu karakter yang sangat penting bagi seorang entrepreuner, mengapa? Karena bila seorang entrepreuner tidak atau kurang percaya pada dirinya sendiri bahwa dia mampu untuk merealisasi impiannya maka pasti akan menemui banyak sekali hambatan, dan hambatan-hambatan itu datang dari dirinya sendiri. Sebagai orang kristiani saya yakin bahwa kita lebih mudah untuk membangun kepercayaan diri tersebut. Mengapa? Karena kita diciptakan sebagai Citra Allah (Kej.1:26-27), sebagai puncak dari seluruh karya penciptaan Allah. Bila kita memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan manusia sejak konsepsi sampai lahir dan selanjutnya menjadi manusia dewasa, maka bila kita memperhatikan sejak kelahiran sampai balita, maka anak-anak itu cenderung percaya pada dirinya sendiri, bayi itu mulai belajar tengkurap, belajar merangkak, belajar berdiri, belajar bicara, belajar jalan, lari dan kemudian ingin mencoba dan mulai bertanya banyak hal. Sejak mulai mampu berjalan sendiri, banyak orang tua yang cenderung terperangkap pada sikap over-protective (sikap terlalu melindungi), sikap terlalu melindungi ini bisa menggerus kepercayaan diri anak sedikit demi sedikit. Saya teringat seorang pendidik yang bernama Christopher Gleeson, SJ, yang dalam bukunya yang berjudul Teaching Values and Freedom (1993) mengatakan bahwa salah satu tugas utama orangtua adalah memberi akar dan sayap (memberi nilai-nilai dan kebebasan yang bertanggungjawab) dan itu harus dimulai sedini mungkin.
Selanjutnya hal penting lain yang perlu sedikit dielaborasi adalah komitmen. Tidak mudah menemukan istilah dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkannya, maka hanya ditranskrip saja. Saya menemukan penjelasan dalam bahasa Inggris yang sangat bagus, yaitu commitment means: Here I am, you can count on me, I won’t fail you. Dengan kata lain komitmen tidak lain adalah ke-siapsedia-an. Komitmen juga mengandung kepercayaan akan seseorang, kesediaan memberikan waktu bagi orang lain dan kesediaan menjadi bagian.
Penutup
Dengan demikian berkeluarga berarti berwirausaha, dalam arti berusaha dengan sekuat-kuatnya menjadi ’diri sendiri’ dan yang sesuai dengan rencana Allah. Lewat usaha membangun relasi yang dialogis dan mengembangkan suatu budaya keluarga, yang tidak lain suatu budaya keluarga pembelajar.
Bogor, akhir Juli 2012
Sabtu, 14 Juli 2012
Keluarga Yang Berziarah, ke mana?
Stanislaus Nugroho
Istilah berziarah tidak asing bagi umat katolik, setiap tahun pada bulan Mei dan Oktober misalnya, banyak umat katolik yang berziarah ke gua Maria, entah di Sendangsono entah Pohsarang, entah di tempat-tempat ziarah yang lain. Tapi bukan itu yang ingin kami bicarakan.
Yang ingin kami bicarakan adalah peziarahan keluarga dalam usaha mencapai dan melaksanakan rencana Allah perihal perkawinan dan keluarga. Apa yang menjadi rencana Allah berkaitan dengan perkawinan dan keluarga? Apa yang menjadi tantangan yang dihadapi pada masa sekarang oleh keluarga-keluarga saat ini. Apa kiat-kiat yang perlu dilakukan agar kita dapat tetap konsisten dengan usaha mencapai dan melaksanakan rencana Allah?
Apa yang menjadi rencana Allah dengan perkawinan dan keluarga?
Agar dapat menjawab pertanyaan ini maka tidak ada lain cara selain bertanya pada Allah. Jawaban Allah bisa kita temukan dalam Kitab Suci. Bila kita membuka Mt.19:1-12 (lihat juga Kej. 2:24; Mk.10:1-12; Ef.5:31) maka saya pikir kita bisa menemukan apa yang menjadi rencana Allah dalam hal perkawinan. Perkawinan bagi Allah tidak lain adalah kesejolian, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sehingga keduanya menjadi satu daging, maksudnya mereka berdua dipersatukan secara penuh, secara eksklusif dan tak terputuskan, dalam bahasa penginjil ’apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia’ (Mt.19:6b, Mk.10:9). Dengan demikian maka mereka yang menikah akan dapat menjadi tanda (sakramen) kasih Allah kepada dunia (Ef.5:32), mereka mengeksplisitasikan relasi Kristus dengan Umat.
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja (Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana, S.J., Obor, 1993) di dunia dewasa ini (selanjutnya akan digunakan singkatan GS) art. 47-52 berbicara tentang martabat perkawinan dan keluarga, secara jelas menyatakan bahwa perkawinan dan keluarga merupakan ’Persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali”. (art.48).
Selanjutnya, Beato Johanes Paulus II, dalam Familiaris Consortio, 1981 (selanjutnya akan digunakan singkatan FC) menjabarkan lebih lanjut apa yang sudah dicanangkan oleh Konsili Vatikan II dengan menulis ”.... keluarga bukan hanya menemukan jati dirinya, keluarga itu apakah sebenarnya, melainkan juga perutusannya, yakni apa yang dapat dan harus dijalankannya” (art. 17) dan itu tidak lain terungkap pada empat tugas utama bagi keluarga, yaitu: ”membentuk persekutuan pribadi-pribadi; mengabdi kepada kehidupan; ikut serta dalam pengembangan masyarakat; dan berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja” (art.17).
Dalam usaha membentuk persekutuan pribadi-pribadi maka keluarga hendaknya menjadikan cintakasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan, karena tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi, dan itu hendaknya diawali dengan cintakasih yang tulus antara suami dan isteri dan selanjutnya antar seluruh anggota dalam satu keluarga yang bersangkutan, antara orangtua dan anak-anak, antara kakak dan adik, antar kaum kerabat dan para anggota se rumah tangga (FC, art.18). Inti dari cintakasih tidak lain adalah ’memberikan diri’ kepada sesamanya, khususnya pasangan kita masing-masing, sebagaimana telah diberikan contoh konkret oleh Kristus Yesus yang telah memberikan diri sehabis-habisnya kepada pasanganNya, yaitu Gereja (Umat).
Selanjutnya tugas umum yang kedua dari keluarga adalah mengabdi kepada kehidupan. Berkaitan dengan tugas umum yang kedua ini maka dalam ’kerjasama dengan cintakasih Allah Sang Pencipta’ suami isteri diundang untuk ikut berperanserta dalam cintakasih dan kekuasaanNya sebagai Pencipta dan Bapa, melalui kerjasama mereka secara bebas dan bertanggungjawab dalam menyalurkan kurnia kehidupan manusiawi: ’Allah memberkati mereka, dan Allah bersabda kepada mereka: ’jadilah subur dan berkembang biaklah, dan penuhilah serta kuasailah bumi’ (FC, art 28). Dengan kata lain, tugas asasi keluarga ialah mengabdi kepada kehidupan, mewujudkan secara konkret dalam sejarah berkat Sang Pencipta pada awal mula, yakni: melalui prokreasi (pengadaan keturunan) menyalurkan gambar ilahi dari pribadi ke pribadi” (FC, art. 28). Tugas ini sangat luhur, karena lewat perkawinan kelangsungan umat manusia menjadi nyata dan kudus.
Tugas umum ketiga dari keluarga adalah ikut serta dalam pengembangan masyarakat. Keluarga hidup, bersama dan untuk masyarakat karena keluarga merupakan sel pertama dan vital bagi masyarakat, tanpa keluarga-keluarga tidak ada masyarakat. ”Begitulah keluarga sama sekali tidak terkungkung dalam dirinya melainkan menurut hakekat serta panggilannya terbuka bagi keluarga lain dan bagi masyarakat, serta menjalankan peranan sosialnya” (FC, art. 42). Lewat keikutsertaan keluarga-keluarga secara tulus dalam pengembangan masyarakat maka kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat manusia akan menjadi nyata.
Tugas umum keempat dari keluarga adalah berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja. Gereja adalah kita semua yang mengaku sebagai pengikut, murid dan sekaligus sahabat dari Kristus Yesus, maka dengan sendirinya kita semua bertanggungjawab dalam kehidupan dan misi Gereja. ”Keluarga dipanggil untuk pengabdian demi pembangunan Kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja” (FC, art 49).
Apa yang menjadi tantangan-tantangan keluarga dewasa ini?
Berkaitan dengan tugas membentuk persekutuan pribadi-pribadi maka tantangan yang menghadang dihadapan kita adalah individualisme (= married but single) dan materialisme (pola hidup yang sangat konsumtif).
Berkaitan dengan tugas mengabdi kepada kehidupan maka tantangan utama keluarga dewasa ini adalah budaya kematian, yang menjadi nyata dalam tindakan aborsi, yang dewasa ini menggejala di mana-mana.
Berkaitan dengan tugas ikut serta dalam pengembangan masyarakat maka tantangan yang harus kita atasi adalah menggejalanya sikap apatis, sikap cuek terhadap penyakit-penyakit sosial yang ada masyarakat kita dewasa ini. Dewasa ini kita sedang terjangkit banyak penyakit sosial (dalam bahasa Nota Pastoral 2004: rusaknya keadaban publik), seperti: korupsi, kekerasan, dan kehancuran lingkungan. Selanjutnya FABC papers no. 111, yang bertema The Asian Family towards a culture of integral life, dengan jelas menyebut kemiskinan sebagai penyakit sosial yang mencolok di Asia (art. 12). Akhirnya bila kita membuka telinga dan mata hati kita maka kita bisa menemukan dua penyakit sosial yang sangat menggejala dewasa ini, yaitu penyalahgunaan obat-obatan (menurut apa yang dilangsir oleh Granat (yang dikomandani oleh Henry Yosodiningrat), maka dewasa ini ada lima juta orang Indonesia yang kecanduan narkoba, dan setiap hari 50 orang meninggal dunia karena narkoba) dan pola hidup seks-bebas atau lebih tepat pola hidup ‘menjadi-budak-seks’.
Akhirnya berkaitan dengan tugas berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja kembali adanya sikap apatis, sikap cuek terhadap kehidupan dan misi Gereja, yang mau aktif ya orang-orang itu-itu saja. Kesan saya – bisa salah tentunya – mencari orang yang mau aktif di seputar altar masih lebih mudah dibandingkan mencari orang yang mau aktif di bidang kegiatan sosial, entah itu di Pengembangan Sosial Ekonomi, entah itu di kerasulan keluarga, maupun kegiatan social yang lain.
Apa kiat-kiat yang perlu dibangun agar kita tetapdapat konsisten berziarah menuju pelaksanaan tugas umum keluarga?
Keempat tugas umum tersebut di atas merupakan tugas yang luhur dan sangat menantang, namun dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, musuh utamanya tidak lain adalah diri kita sendiri. Kita sibuk dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang sering tidak perlu, karena di luar kendali kita. selain itu kemauan untuk berbagi apa saja yang kita miliki masih perlu ditingkatkan. Dalam kaitan dengan itu maka ada beberapa langkah yang perlu kita tidak lanjuti.
Yang pertama adanya kemauan pada diri kita untuk melakukan proses mawas diri secara terus menerus. Dengan bermawas diri maka kita dapat tahu sudah sampai di mana dan mau ke mana dengan hidup kita ini. Bila kita membiarkan hidup ini sekadar mengalir bagaikan sungai, maka kita tidak akan tahu kita sudah di mana dan mau ke mana, sudah pada jalur yang benar dalam rangka panggilan dan rencana Allah atau belum.
Yang kedua sebagai manusia kita adalah pribadi yang unik dan belum selesai, kita masing-masing masih terus berkembang dan menjadi, atau lebih tepat kita masih dalam proses mengutuh. Keutuhan kita tergantung bagaimana usaha kita untuk mensinergikan empat talenta dasar yang kita terima dari Sang Pencipta, yaitu kecerdasan intelektual atau kecerdasan rasional yang tidak lain merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi secara masuk akal. Selanjutnya kita memiliki apa yang dikenal sekarang ini dengan kecerdasan emosional, yang tidak lain adalah kemampuan kita untuk berempati, berbelarasa baik dalam suka maupun duka. yang ketiga kita memiliki kecerdasan moral, di mana kita mampu untuk membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Akhirnya kita memiliki suatu kecerdasan yang dikenal sebagai kecerdasan spiritual, suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menemukan makna hidup, yang berkaitan dengan nilai (= value) dan iman. Menjadi tugas kita untuk mensinergikan keempat kecerdasan tersebut agar kita menjadi manusia yang utuh.
Yang ketiga manusia sebagai makhluk sosial (menjadi nyata dalam keluarga) kita mempunyai kewajiban untuk membangun budaya dialog, yang dicirikan oleh kemampuan untuk mendengarkan dan kemampuan untuk mengkomunikasi diri kita seutuhnya, baik perasaan, pikiran maupun perlaku kita. mungkin baik bila kita sering merenungkan apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus lewat perumpamaan tentang seorang penabur (Mt. 13:1-23; bdk Mk. 4:1-20; Lk. 8:4-15).
Akhirnya kita perlu memngusahakan dengan sungguh-sungguh terciptanya keutuhan ciptaan. Inilah tujuan perziarahan kita, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial dan bagian dari alam semesta ini dalam dan lewat keluarga. Selamat berziarah!
Bogor, awal Juli 2012
Sabtu, 30 Juni 2012
Menjadi Indonesia
Menjadi 100% Indonesia dan 100% Katolik
Stanislaus Nugroho
Saat ini Umat Katolik Indonesia sedang mengalami demam film Soegija, yang sedang diputar di bioskop-bioskop di Nusantara ini. Soegija (1896-1963) adalah nama kecil dari Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata, S.J., Vikaris Apostolik Semarang dan kemudian menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang. Beliau merupakan Uskup Pribumi Indonesia yang pertama. Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia (SK No. 152/1963), tertanggal 26 Juli 1963 beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.
Judul tulisan ini tidak lain adalah salah petuah atau pesan dari Alm. Mgr. A.M. Soegijapranata, S.J. yang paling mengesan dan sekaligus paling terkenal bagi Umat Katolik Indonesia. Berkaitan dengan tema yang diangkat oleh Majalah Kana untuk bulan Agustus 2012 tidak lain adalah Menjadi Indonesia maka saya pikir renungan tentang petuah atau pesan dari alm. Mgr. A.M. Soegijopranoto S.J. tersebut di atas sangat relevan, lebih-lebih bila kita ingat saat ini negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis total, dilanda oleh berbagai macam penyakit sosial yang sedang mewabah. Penyakit sosial itu tidak lain adalah korupsi, kekerasan, kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan, penyalahgunaan obat, perilaku seksual yang menyimpang, dan lain sebagainya.
Menjadi 100% Indonesia
Segala penyakit sosial yang sekarang ini melanda negara kita tercinta ini saya pikir berakar pada egosentrisme, kita terjebak pada kepentingan kita sendiri, baik secara individual maupun secara sosial, namun dalam arti yang sempit, entah itu hanya kelompoknya, sukunya, agamanya, kita kembali pada primordialisme belaka. Padahal para pendiri bangsa dan negara sadar betul bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, maka kita sejak awal mendengar semboyan Bhineka Tunggal Ika. Menjadi 100% Indonesia saya pikir tidak lain berarti menjadi nasionalis (namun bukan nasionalisme yang sempit, seperti seringkali dikatakan oleh Bung Karno, selain nasionalis kita juga perlu menjadi internasionalis, maka Bung Karno membentuk gerakan non-blok pada jamannya). Seorang nasionalis adalah seorang pancasilais, seorang yang menghayati dan mengamalkan Pancasila secara tulus, karena Pancasila adalah The Way of Life-nya negara dan bangsa Indonesia. Seorang pancasilais adalah orang-orang:
a).Yang mampu memelihara keutuhan ciptaan, Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan kondisi yang sangat baik, dari sesuatu yang chaos menjadi kosmos, ciptaan tersebut diserahkan kepada manusia untuk dimanfaatkan secara bijaksana demi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia sampai akhir jaman (bonum commune). Dalam kaitan dengan ini maka beato Yohanes Paulus II pada Centessimus Annus menulis sebagai berikut ”Selain masalah konsumerisme, yang memprihatinkan juga dan erat berhubungan dengannya ialah soal lingkungan hidup. Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati daripada menemukan dan mengembangkan dirinya, ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi maupun hidupnya sendiri. Dibalik pengrusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan di bidang antropologi, yang memang sudah tersebar luas. Manusia, yang menyadari bahwa dengan kegiatannya ia mampu mengubah dan dalam arti tertentu ’menciptakan’ dunia, melupakan bahwa kegiatannya itu selalu harus didasarkan pada pengurniaan segalanya oleh Allah menurut maksudnya semula. Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah dan yang manusia dapat mengembangkan, tetapi tidak boleh mengkhianatinya. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya (art. 37)”.
b). Yang hormat pada harkat dan martabat manusia secara utuh. Allah telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (Kej.1:26-27), maka setiap manusia mempunyai nilai pada dirinya sendiri (bdk. dengan pendapat Immanuel Kant bahwa ’manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka’). Sebagai citra dan gambar Allah maka manusia memiliki kemampuan untuk menentukan diri sendiri (= kebebasan), agar dapat mengungkapkan kebebasannya secara bertanggungjawab maka manusia memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan untuk mencari dan menemukan makna hidupnya bersama dengan sesama dan lingkungan hidupnya.
c). Yang mampu menegakkan keadilan. Pemikir Romawi kuno yang bernama Celsus mencoba merumuskan keadilan sebagai tribuere cuique suum, ungkapan bahasa Latin ini tidak mudah diterjemahkan, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai to give everybody his own, maka dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya atau apa yang seharusnya menjadi miliknya. Joseph Pieper dalam bukunya yang berjudul Justice, translated by E. Lynch, London, 1957, hal. 12 menyatakan bahwa ‘keadilan memiliki tiga ciri khas yaitu: bahwa keadilan selalu terarah pada orang lain; keadilan selalu ditegakkan dan keadilan selalu menuntut persamaan (bdk. dengan buku yang ditulis oleh John Finnis, Natural Law and Natural Rights, Oxford, 1980, hal. 161-163).
d). Yang mampu bersikap solider terhadap sesamanya, khususnya mereka yang terpinggirkan, yang terlupakan. Saya jadi ingat dalam pepatah bahasa Indonesia kita kenal ungkapan sebagai berikut ’ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, dan ungkapan tersebut menjadi nyata dalam kegiatan gotong royong, bahkan Bung Karno pernah memeras Pancasila menjadi Gotong Royong.
e). Yang mampu menghayati prinsip subsidiaritas, sebuah prinsip yang kurang lebih dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk menghargai kemampuan yang dimiliki sesamanya, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, agar apa yang dapat diusahakannya sendiri dapat direalisasikan, namun yang lebih mampu atau yang lebih kuat punya kerelaan dan kesediaan untuk membantu, agar yang lemah atau yang kecil dapat makin sejahtera.
f). Yang mampu bersikap fair, John Rawls dalam artikelnya yang berjudul Justice as Fairness (1958) membedakan antara istilah ’just’ dan ’fair’. Just bagi Rawls berarti adil menurut isinya, sedang fair berarti adil menurut prosedurnya, dengan demikian adil dalam arti fair adalah keadilan yang didasarkan pada prosedur yang wajar, tidak direkayasa atau dimanipulasi.
g). Yang mampu bersikap demokratis, artinya mampu menyelenggarakan kehidupan bersama yang dapat mencerminkan kehendak rakyat, kehendak umum lewat peran serta, perwakilan dan tanggungjawab sosial, demi mencapai kesejahteraan umum.
Menjadi 100% Katolik
Pertama-tama kalau kita membaca Kis. 9:31 yang berbunyi ”Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kristus”. Istilah ’jemaat’ sebenarnya terjemahan dari kata Yunani ’Ekklesia Katha Holos, yang juga bisa ditulis dengan Ekklesia Katolikhos, maka kalau mau menterjemahkan secara lebih harafiah maka ayat 31 tersebut harus diterjemahkan sebagai berikut ”Selama beberapa waktu Gereja Katolik di seluruh Yudea, ....... GerejaKatolik itu dibangun dan hidup .....”.
Santo Ignatius dari Antiokhia adalah orang yang pertama menggunakan istilah Gereja Katolik, yaitu dalam suratnya kepada umat di Smyrna (lebih kurang tahun 106). Dengan istilah Gereja Katolik maka Santo Ignatius dari Antiokhia ingin menunjuk pada ’Gereja Universal dalam persekutuan dengan Uskup Roma’. Selanjutnya Santo Cyrilus dari Yerusalem (lebih kurang tahun 315-386) dalam Materi-materi katekisasi, XVIII, 26 menulis ”Jika kalian berada di dalam kota-kota, jangan bertanya di manakah Rumah Tuhan, karena sekte-sekte profan lainnya juga berusaha menyebut tempat-tempat mereka sendiri ’rumah tuhan’, jangan juga hanya bertanya di manakah gereja, tetapi bertanyalah di manakah Gereja Katolik. Karena inilah nama khusus dari Gereja Yang Kudus, Bunda kita semua yang adalah mempelai dari Tuhan kita Yesus Kristus, Putera Tunggal Allah”.
Katolik merupakan salah satu sifat atau ciri dari Gereja yang didirikan oleh Kristus Yesus. Santo Cyrilus dari Yerusalem berkata ”disebut ’katolik’ karena tersebar di seluruh dunia dari satu ujung ke ujung yang lain”. Dalam kaitan dengan ini maka menjadi 100% Katolik berarti menghayati dan mengamalkan Iman Katolik secara konsisten. Apa isi dari iman katolik tersebut? Pertama-tama pada Gereja perdana yang menjadi iman katolik adalah wafat dan kebangkitan Kristus Yesus sebagaimana dapat kita temukan dalam surat Rasul Paulus kepada Umat di Roma yang berbunyi sebagai berikut ”Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan (Rom.10:9), lihat juga surat pertama Rasul Paulus kepada Umat di Korintus yang berbunyi ”Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor.15:3-4). Selanjutnya rumusan iman menjadi lebih lengkap sebagaimana dicatat dalam Kis.10:34-42, karena mencakup juga karya-karya Yesus di depan umum, ”Kamu tahu tentang Yesus dari Nazaret, bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis; dan mereka telah membunuh Dia dan menggantung Dia pada kayu salib. Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari ketiga, dan Allah berkenan bahwa Ia menampakkan diri”.
Menjadi 100% Katolik berarti menjadi pengikut dan murid Kristus Yesus yang menghayati misi Yesus dan melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Kristus Yesus sebagaimana dapat kita baca dalam Lk.4:18-19, ”Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.
Dengan demikian menjadi 100% Indonesia dan sekaligus 100% Katolik merupakan sesuatu yang komplementer dan dengan demikian tidak bertentangan satu sama lain, dan sekaligus menjadi pekerjaan rumah seumur hidup bagi para pengikut dan murid Kristus Yesus, sesuai dengan panggilannya masing-masing. Mari kita belajar dan meneladani alm. Mgr. Albertus Soegiyapranata SJ.
Bogor, akhir Juni 2012.
Jumat, 04 Mei 2012
Perkawinan beda agama, mungkinkah dielakkan?
Stanislaus Nugroho
Salah satu problem yang banyak dihadapi di Keuskupan Bogor dalam kerangka pastoral keluarga adalah perkawinan beda Gereja dan beda Agama. Oleh karena itu waktu saya dilantik oleh bapak Uskup Bogor sebagai ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bogor dipesan untuk melakukan pendampingan khusus pada keluarga-keluarga yang dibangun dengan perbedaan iman, entah beda Gereja entah beda Agama. Ternyata pendampingan itu tidaklah mudah kalau tidak mau mengatakan sangat sulit. Ada kesenjangan, entah karena sikap dari keluarga yang bersangkutan entah dari Umat. Bagaimana hal ini harus disikapi? Tulisan ini merupakan suatu usaha berbagi pengalaman melakukan pendampingan keluarga yang perkawinannya ditandai dengan beda Gereja atau beda Agama.
Dewasa ini kita hidup dalam suatu dunia yang ’terbuka’ atau kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Kenichi Ohmae (1991) adalah ’dunia tanpa sekat/batas’ (The Borderless World). Mengapa dunia dewasa ini menjadi tanpa sekat/batas? Hal itu disebabkan oleh perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi informasi dan transportasi yang sangat mengagumkan. Hal ini menjadi sangat nyata dalam kehidupan bisnis, tetapi juga dalam dimensi-dimensi kehidupan yang lain, seperti dalam hal pergaulan atau relasi antar manusia. Tulisan ini membatasi diri pada dimensi pergaulan atau relasi antar manusia, lebih khusus lagi dalam kaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki.
Dalam kaitan dengan pergaulan antar manusia maka kita sekarang hidup dalam suatu kesadaran akan apa yang disebut dengan ’iklim multikultur’. Dewasa ini kita menyadari suatu kenyataan yang tak terbantahkan, yaitu bahwa kehidupan kita bermasyarakat ditandai dengan adanya perbedaan, entah beda budaya, beda agama, beda kepentingan, beda ideologi, dan lain-lain. Berkaitan dengan itu, maka multikulturisme mencoba menawarkan suatu paradigma yang ditandai dengan ”pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya (termasuk di dalamnya agama) seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengungkapkan nilai bagi anggota-anggotanya” (bdk. Lawrence Blum, Anti racism, Multiculturalism, and Interracial Community. Three Educational Values for a Multucultural Society, sebuah monograf yang diterbitkan oleh University Of Massachusetts, Boston, 1991). Multikulturalisme diilhami oleh tulisan dari John Stuart Mill ( sebagaimana yang saya kutip di sini ”Hanya melalui perbedaan opinilah, ….. , terletak kesempatan untuk memperlakukan semua sisi kebenaran secara merata” (On Liberty, Indianapolis: Hackett Publishing, 1978, hal. 46). Maka persoalan yang digeluti oleh multikulturalisme tidak lain, adalah “bagaimana mengelola kebersamaan dalam perbedaan?”.
Namun – sesuai dengan pengalaman penulis – agar paradigma multikulturalisme itu bisa operasional maka dibutuhkan beberapa sikap yang perlu dihayati dengan tulus, yang pertama adanya sikap terbuka terhadap perbedaan, bahwa perbedaan itu suatu fakta dan fakta yang memperkaya, namun untuk itu kita perlu melengkapi diri dengan kemampuan untuk mengelola perbedaan. Kalau kemampuan mengelola perbedaan tidak kita miliki maka kemungkinan konflik menjadi sangat terbuka. Selain daripada itu juga diperlukan sikap hormat, saya jadi teringat apa yang dikatakan Immanuel Kant (1724-1804) lebih dari dua ratus tahun yang lalu, Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Sikap ketiga yang juga perlu kita bangun adalah adanya sikap mau belajar secara kritis. Menerima perbedaan tidak sama dengan menyetujui perbedaan, tapi mencoba menerima perbedaan tersebut untuk dapat saling memperkaya. Saya selalu mengambil contoh sebagai berikut, bila kita mengamati suatu obyek tertentu, maka obyek tersebut bisa diamati dari berbagai sudut. Namun secara pribadi kita tidak bisa mengamatinya dari berbagai sudut sekaligus, hal itu berkaitan dengan kenyataan bahwa kita bertubuh, dengan ketubuhan tersebut maka kita selalu ada pada posisi tertentu, dan sering kita tidak bisa pindah ke posisi lain. Tapi obyek tersebut dapat kita amati secara menyeluruh kalau ada orang-orang lain yang berada pada posisi lain, dan kita mau saling berbagi dengan tulus maka obyek tersebut dapat kita amati secara menyeluruh. Membangun sikap terbuka, sikap hormat, dan sikap mau belajar dengan kritis merupakan suatu pekerjaan rumah seumur hidup yang harus kita lakukan dengan tekun. Selain daripada itu dalam konteks kita sebagai orang beriman maka kita perlu membangun sikap doa, mohon bantuan Tuhan agar kita dapat membangun sikap multikulturalisme dengan tepat.
Berkaitan dengan perkawinan yang ditandai dengan adanya perbedaan Agama dan beda Gereja maka kami lebih fokus pada usaha-usaha preventif tanpa melupakan usaha-usaha kuratif. Dari pengalaman melakukan kerasulan pendampingan keluarga maka dengan tulisan ini kami ingin membagikan beberapa tips yang saya pikir perlu kita hayati dan kita laksanakan sebagai orang tua.
Yang pertama, keluarga hendaknya berusaha dengan tulus untuk membangun budaya dialog, atau bila menggunakan bahasa yang digunakan oleh Konsili Vatikan II, komunikasi hati penuh kebaikan, karena ’Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” (Konstitusi Pastoral tentang keluarga di dunia dewasa ini, art.52). Dengan demikian ”Dialog bukanlah transaksi tawar menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan. Dialog juga bukan konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan pihak lain memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat lain. Dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam dialog, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat, dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami dan menerima. Dalam dialog tidak ada monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi bahan dialog” (Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal, Kanisius, 2003, hal. 104-105). Dengan kata lain berdialog berarti mengkomunikasi diri (perasaan, pikiran perilaku) masing-masing pihak agar dapat timbul saling pengertian dan sekaligus memperkaya. Bila saling pengertian tercapai di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses dialog – dalam hal ini bapak, ibu dan anak-anak – maka tujuan dari komunikasi mereka akan tercapai
Yang kedua, sejak dini orangtua perlu membiasakan kehidupan iman yang intens, misalnya dengan membangun kehidupan doa bersama, doa pagi, doa sebelum dan sesudah makan, doa malam sebelum tidur (doa ini sekaligus merupakan doa rekonsiliasi keluarga), betapa indahnya sebelum mengakhiri hari yang bersangkutan diwarnai dengan rekonsiliasi keluarga dihadapan Tuhan. Hal lain yang perlu dibiasakan adalah hadirlah dalam perayaan Ekaristi (yang merupakan pusat kehidupan orang Katolik) bersama sebagai keluarga.
Yang ketiga, perlunya orangtua meningkatkan kepekaannya bila anak-anak mereka sudah remaja, lebih-lebih bila sudah menjadi orang muda, berkaitan dengan teman-teman dekatnya. Lakukan dialog yang intensif mengenai kehidupan berkeluarga. Bagi iman kita kehidupan berkeluarga merupakan suatu panggilan untuk hidup sebagai sejoli, sebagai pasangan. Orang tua hendaknya mensharingkan pengalaman mereka membangun kesejolian (Kej.2:24; Mt.19:5; Mk.10:7-8; 1Kor.6:16; Ef.5:31). Dari pengalaman orangtua anak-anak bisa belajar bahwa membangun kesejolian tidaklah mudah, karena harus membangun jembatan yang mampu menghubungkan perbedaan-perbedaan (entah itu perbedaan pendapat, perbedaan minat, perbedaan budaya keluarga masing-masing pasangan, perbedaan pendidikan dan lain sebagainya), maka alangkah indahnya bila tidak ditambah dengan perbedaan agama, dan perbedaan iman, karena agama dan iman merupakan orientasi ke kehidupan masa depan.
Yang keempat, dalam kehidupan beriman maka sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas dari kaitan hukum dan ajaran (dalam hal ini khususnya yang berkaitan dengan agama yang kita yakini). Maka orangtua bersama dengan anak-anaknya perlu mempertimbangkan beberapa masalah yang bisa muncul bila perkawinan dilangsungkan antara mereka yang telah dibaptis secara katolik dengan mereka yang yang tidak dibaptis, seperti yang beragama Islam, Hindu Bali, Budha dan lainnya. Dalam tulisan berikut ini saya banyak mengacu pada Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik. Implikasinya dalam Kawin Campur, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 104-105.
a. Menurut hukum Gereja Katolik, perkawinan antara seorang katolik dengan seorang Islam, misalnya bukanlah sebuah sakramen, padahal bagi keluarga katolik – sesuai dengan iman dan tradisi Katolik – ”Panggilan dasar dan kerinduan umat manusia akan kebersamaan atau tata kehidupan bersama yang penuh kedamaian dan kebahagiaan justru menemukan jawabannya pada apa yang ditawarkan dan disampaikan oleh iman dan tradisi Gereja dalam sakramen. Kami berpendapat bahwa pengalaman hidup kita sehari-hari memiliki sifat dan ciri sakramental, yakni memuat suatu kesatuan tegangan dari kehidupan bersama Allah yang berlangsung dalam kehidupan manusiawi atau pengalaman kita sehari-hari. Tentu ciri sakramental dari kehidupan bersama kita sehari-hari itu tidak serta merta jelas. Di situlah makna sentalitas Yesus Kristus sebagai sakramen pokok atau indul, serta peranan Gereja yang menjadi sakramen Yesus Kristus menjadi penting” (E. Martasujita, Pr., Sakramen-sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, liturgis dan Pastoral, Kanisius, 2003, hal. 7). Biarpun demikian perkawinan antara mereka yang dibaptis secara Katolik dengan mereka yang tidak dibaptis dapat diakui dan diberkati oleh pemimpin Gereja sebagai perkawinan yang sah, setelah mendapat dispensasi dari Uskup. Untuk mendapatkan dispensasi maka ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi (Kan. 1125). Syarat-syarat tersebut adalah 1) pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik. 2) mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik. 3) kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
b. Hal kedua yang perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh adalah bahwa Gereja Katolik tidak pernah menerima poligami dengan alasan apapun, sedang ijin perceraian hanya dapat diberikan secara amat sulit dan rumit oleh para pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Sebaliknya bagi hukum Islam laki-laki Islam dapat menikahi beberapa perempuan dan menceraikannya apabila ada alasan yang memadai menurut hukum Islam. Maka bila perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Katolik tidak mencapai kebahagiaan, bila sampai terjadi perceraian maka laki-laki Muslim bisa menikah lagi, sedang wanita Katolik hampir tidak mungkin dapat menikah lagi secara Katolik.
c. Baik hukum Gereja Katolik maupun hukum Islam sama-sama menuntut para pengikutnya untuk mengikuti hukumnya masing-masing bila para pengikutnya ingin melakukan perkawinan yang sah secara Katolik maupun secara Islam. Baik Katolik dan Islam sama-sama menolak bahwa perkawinan beda agama diteguhkan dua kali, secara Katolik dan secara Islam. Hal ini tentunya mempersulit perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Bila mencari jalan tengah dengan melakukan perkawinan sipil saja juga tidak memungkinkan, karena harus dilakukan secara hukum agamanya dulu baru dicatat di Kantor Catatan Sipil.
d. Masalah lain yang muncul dalam perkawinan antara mereka yang beragama Katolik dengan mereka yang beragama Islam adalah dalam hal pendidikan anak-anak. Baik agama Katolik maupun agama Islam sama-sama menuntut para pengikutnya agar mendidik anak-anaknya menurut keyakinan mereka masing-masing.
Demikianlah ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh sebelum memutuskan untuk menikah dengan beda agama, khususnya dengan mereka yang beragama Islam. Bila keluarga memiliki budaya dialog, dan memiliki iman sebagai akar yang kuat, pengalaman menunjukkan bahwa orangtua mampu memiliki kepekaan yang kuat dan mampu ’mencegah’ anaknya jatuh cinta (perlu diingat mereka yang sedang jatuh cinta sering membuat mereka menjadi ’buta’) pada orang yang berbeda agama.
Bogor, awal April 2012
Senin, 09 April 2012
Refleksi Masa Prapaskah 2012
Bangkit dan Bergeraklah: from good to great!
Stanislaus Nugroho
“What can I (we) do better now?”
Kita baru saja menyelesaikan retret agung tahunan, empat puluh hari lamanya, maka pantaslah kalau saya mengucapkan “Selamat kepada mereka yang telah menyelesaikan retret agung tersebut” dan Selamat Paskah kepada para pembaca. Paskah merupakan pesta iman yang agung, iman akan penebusan dan pembebasan kita, berkat sengsara, wafat dan bangkitNya Yesus Kristus, maka relasi manusia dengan Allah dipulihkan, pintu surga terbuka bagi mereka yang sungguh beriman kepada Yesus Kristus, Penyelamat dan Pengantara kita semua. Pesta Paskah merupakan pesta besar, sayangnya dibandingkan dengan pesta Natal maka pesta Paskah kurang meriah kita rayakan.
Lewat retret agung yang dibarengi dengan laku tapa (puasa dan pantang) dan dilanjutkan dengan penerimaan sakramen rekonsiliasi, serta laku solidaritas (berbagi kepada mereka yang terpinggirkan, lewat Aksi Puasa Pembangunan), maka kita sudah menjadi baik, cukupkah? Belum!
Kita harus terus maju untuk menjadi lebih baik, menjadi great, kita dipanggil dengan sapaan sebagai berikut ”.... haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mt.5:48). Dalam tradisi Ignatian tekad ini dikenal dengan istilah ’ bersikap magis, bersikap ’the more’, dalam arti selalu mau lebih baik dalam melayani Allah dan sesama, khususnya mereka-mereka yang terpinggirkan. Namun dewasa ini ada kesan kuat, bahwa Allah dan mereka yang terpinggirkan ’kalah’ dengan arus hedonisme, materialisme dan egosentrisme yang telah menjadi arus utama masyarakat kita dewasa ini.
Berkaitan dengan arus utama tersebut di atas maka kita perlu membangun tekad yang kuat untuk memiliki 3 keutamaan penting bagi kita semua dalam usaha menjadi pengikut dan murid serta sahabat Kristus Yesus, Sang Juruselamat. Ketiga keutamaan itu adalah apa yang diyakini oleh para pengikut Santo Ignatius Loyola sebagai sesuatu yang sangat hakiki, yaitu: kompeten, hati nurani (yang peka) dan belarasa (baik dalam suka maupun duka) kepada semua pihak yang terkait dengan kita (3C: competence, conscience dan compassion). Sebelum mendiskusikannya secara lebih mendalam, mungkin baik kalau kita menjawab pertanyaan mendasar di bawah ini.
Untuk apa sih kita hidup? Ada banyak jawaban tentunya, namun saya meyakini bahwa kita hidup untuk ’orang lain dan bersama orang lain’. Atau kalau menggunakan bahasa Injil, Tuhan kita Kristus Yesus menyatakan dengan sangat tegas sebagai berikut ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini” (Mk.12:30-31).
Keyakinan tersebut mulai saya sadari, pada waktu saya menjelang ujian sebagai akuntan (1968), saya ikut retret yang dipimpin oleh seorang Jesuit, Pater Hamma SJ, moderator PMKRI waktu itu. Pada salah satu sessi Pater Hamma mengajukan pertanyaan sebagai berikut ”Menurut kalian kita hidup di dunia ini untuk apa?”. Jawaban yang terlontar secara spontan adalah menjadi orang yang berhasil. Kemudian Pater melanjutkan dengan bertanya ”Menurut kalian orang yang disebut berhasil itu yang bagaimana?”. Jawabannya bermacam-macam, ada yang berkata, orang yang berhasil adalah mereka yang kaya, mereka yang berilmu, mereka yang menjadi pemimpin perusahaan, mereka yang menjadi pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Semua jawaban tersebut tidak salah sama sekali, namun belum menjadi jawaban yang mendasar. Kemudian Pater melanjutkan dengan memberikan pilihan, kami para peserta retret yang berjumlah 40 orang harus memilih, tidak boleh tidak memilih. Pilihannya adalah sebagai berikut: memilih menjadi jutawan, yang bisa memenuhi semua yang diinginkan (waktu itu – 1968 – menjadi jutawan sudah luar biasa), kecuali satu hal yang tidak bisa dipenuhi yaitu keinginan untuk berteman, kita harus hidup sendiri hanya bersama dengan milik kita saja. Atau menjadi orang yang sangat miskin namun ada teman, yang disayangi dan yang meyayangi. Semua peserta retret terdiam, tidak tahu harus memilih yang mana, pilihan yang sulit, akhirnya ada seorang peserta retret yang menjawab ”pilih menjadi jutawan’ dan kemudian diafirmasi oleh sebagian besar anak yang lain, hanya ada lima anak (termasuk saya) yang memilih menjadi orang yang sangat miskin. Kemudian Pater bertanya kepada kami berlima, mengapa kalian berlima memilih menjadi orang sangat miskin. Secara spontan, kami berlima menjawab ”apa enaknya hidup sendirian, tanpa siapa-siapa yang lain, tanpa sahabat, tanpa kekasih”.
Kemudian setelah melewati diskusi panjang dan cukup lama, akhirnya Pater menarik kesimpulan bahwa ’kita semua dipanggil untuk orang lain dan bersama orang lain’ dan agar hidup kita bermakna bagi orang lain, kita perlu memiliki kompetensi, hati nurani dan belarasa serta iman yang kuat kepadaNya . Dalam perjalanan selanjutnya maka saya berusaha untuk semakin menghayati ketiga keutamaan tersebut.
Mari kita melihat satu persatu-satu ketiga keutamaan tersebut di atas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kata kompetensi dijelaskan sebagai ”kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu”. Sedang dalam Kamus Istilah Manajemen (PPM, 1981) kata competence yang diterjemahkan sebagai kemampuan dijelaskan sebagai ”kemampuan mengerjakan kegiatan tertentu yang sesuai dengan standar. Bila kita merujuk pada seorang pakar yang bernama Richard E. Boyatzis (Competencies in the 21st Century, Journal of Management Development, vol. 27, no.1, 2008) mendefinisikan kompetensi sebagai berikut ”kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol”.
Sedang Yodhia Antariksa (http://strategimanajemen.net/2007/09/06/membangun-manajemen-sdm-berbasis-kompetensi) merumuskannya sebagai berikut ”kompetensi dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan, atribut personal dan pengetahuan yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diukur dan dievaluasi”. Dengan demikian kompetensi – bagi saya – tidak lain adalah praksis dari ke empat talenta dasar kita (kemampuan intelektual, kemampuan emosional, kemampuan moral dan kemampuan mencari, menemukan dan memberi makna pada kehidupan ini.
Selanjutnya Boyatzis membedakan antara ’soft competency’ dan ’hard competency’. Soft competency berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain, seperti kepemimpinan, komunikasi, relasi interpersonal, dan lain-lain. Sedang hard competency berkaitan dengan kemampuan fungsional tau teknis suatu pekerjaan, misalnya analisis finansial, perencanaan, dan lain-lain. Dengan demikian kompentensi memiliki 3 dimensi, yaitu kompetensi kognitif, dimensi kecerdasan emosional dan dimensi kecerdasan sosial. Atau dengan kata lain bisa saya rumuskan kompetensi tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk mensinergikan keempat kecerdasan dasar yang telah dimiliki (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan memberikan makna) dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.
Hati nurani atau suara hati dirumuskan dengan sangat bagus oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, art.16: ”Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya”. Dengan demikian hati nurani mengandaikan adanya iman dan relasi yang akrab serta mesra dengan Allah. Dengan kata lain hati nurani berkaitan erat dengan pribadi seseorang, sejauh mana nilai-nilai manusiawi dihayati. Namun dilain pihak hati nurani juga berkaitan dengan Allah, sejauh mana seseorang beriman dan menghayati nilai-nilai rohani sebagaimana diinginkan oleh Allah (seperti ’kasih, sukacita, damai sejahtera dan sebagainya, lihat Gal.5:22-23). Hasil dari hati nurani tidak lain adalah suatu keputusan moral yang berkaitan dengan nilai-nilai universal namun berciri subyektif, karena merupakan keputusan pribadi dan oleh karenanya menjadi tanggungjawab pribadi yang bersangkutan. Namun untuk itu kita perlu selalu membina hati nurani kita, dalam tradisi kristiani ada yang dikenal dengan pemeriksaan batin dan pembedaan roh (lihat 1Yo.4:1-6) serta pembimbing rohani, bisa seorang imam, seorang biarawan atau biarawati. Lewat bantuan mereka kita bisa membina hati nurani kita masing-masing. Oleh karena itu dalam tadisi katolik kita dianjurkan memiliki bapa/ibu rohani.
Bela rasa baik dalam suka maupun duka merupakan suatu keutamaan yang sangat penting – lebih-lebih dewasa ini di mana semangat egosentrisme, materialisme dan individualisme menjadi sangat dominan. Penginjil Markus memberikan kesaksian (1:41) bahwa Yesus memiliki sikap bela rasa yang sangat tinggi dengan menyatakan ”maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan .....”, dan yang lebih penting Yesus kemudian bertindak secara nyata dengan berkata ”Aku mau, jadilah engkau tahir”, begitu juga Rasul Paulus menulis di 1 Kor.9:22 sebagai berikut ”Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. ....”).
Manusia adalah makhluk yang selalu sedang ’menjadi’, makhluk yang belum selesai. Dalam proses ’menjadi’ manusia tidak bisa sendirian, dia memerlukan orang lain. Salah satu ciri manusia dewasa adalah manusia yang semakin sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain, ada suatu kesadaran akan adanya ’kesalingtergantungan’ (interdependence) dengan sesamanya, atau dengan kata lain, prinsip komplementer merupakan salah satu prinsip hakiki dalam kehidupan kita yang nyata.
Seorang pemikir kontemporer yang bernama Milton Mayerhoff lewat bukunya yang berjudul On Caring (1972) mengawali bukunya dengan langsung menulis ”Dalam arti yang paling tepat, memperhatikan seseorang lain tidak lain berarti menolong dia berkembang dan mewujudkan dirinya sendiri” (huruf italic berasal dari kami, penulis). Itulah yang dicontohkan oleh Guru kita, Dia membuka masa depan, bagi orang kusta yang pada waktu itu sungguh dipinggirkan oleh masyarakat, orang kusta menjadi ’sampah’, menjadi najis.
Berbela rasa baik dalam suka maupun duka sungguh tidak mudah, kita harus berani keluar dari jebakan diri sendiri, melepaskan diri dari jebakan egosentrisme, tapi itulah panggilan kita, sebagaimana dicontohkan oleh Guru kita. Gereja perdana mencoba menghayatinya dengan sungguh-sungguh sebagaimana bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-37, dilanjutkan sampai sekarang baik dengan Ajaran Sosial Gereja maupun dengan gerakan Aksi Puasa Pembangunan, dan kiprah Komisi/Seksi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi), serta komisi/seksi lain, seperti kesehatan dan lain-lain.
Tindak lanjut dari apa yang telah kita bangun selama masa prapaskah tidak lain kita harus ’bangkit dan bergerak’ dari kondisi baik menjadi sempurna/utama sebagaimana kita dipanggil oleh Junjungan kita semua. Mari kita bergandengan tangan dan mulai ’berbagi’ dengan apa yang kita miliki, entah itu pengetahuan, pengalaman, kemampuan ekonomi kita, dan lain-lain. Kita mulai di keluarga kita masing-masing, lingkungan kita, tempat kerja kita, maka pasti akan terjadi perubahan yang luar biasa.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip apa yang ditulis Anthony de Mello SJ (almarhum) dalam bukunya yang berjudul The Song of The Bird (1982) sebagai berikut: ”Sufi Bayasid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ’waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!’ Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah atu orangpun, aku mengubah doaku menjadi: ’Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: kjeluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ’Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya aku sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!’ Catatan kaki dari Anthony de Mello SJ adalah sebagai berikut: ”Setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia. Hampir tak seorangpun berpikir bagaimana mengubah dirinya sendiri”. Itulah kebodohan yang kubuat, dan baru kesadari dan kerubah sedikit demi sedikit sejak tahun 1982, lewat week-end Marriage Encounter yang telah menawarkan kepada kami ”Dialogue as the way of life”! (Bogor, akhir Februari 2012).
Stanislaus Nugroho
“What can I (we) do better now?”
Kita baru saja menyelesaikan retret agung tahunan, empat puluh hari lamanya, maka pantaslah kalau saya mengucapkan “Selamat kepada mereka yang telah menyelesaikan retret agung tersebut” dan Selamat Paskah kepada para pembaca. Paskah merupakan pesta iman yang agung, iman akan penebusan dan pembebasan kita, berkat sengsara, wafat dan bangkitNya Yesus Kristus, maka relasi manusia dengan Allah dipulihkan, pintu surga terbuka bagi mereka yang sungguh beriman kepada Yesus Kristus, Penyelamat dan Pengantara kita semua. Pesta Paskah merupakan pesta besar, sayangnya dibandingkan dengan pesta Natal maka pesta Paskah kurang meriah kita rayakan.
Lewat retret agung yang dibarengi dengan laku tapa (puasa dan pantang) dan dilanjutkan dengan penerimaan sakramen rekonsiliasi, serta laku solidaritas (berbagi kepada mereka yang terpinggirkan, lewat Aksi Puasa Pembangunan), maka kita sudah menjadi baik, cukupkah? Belum!
Kita harus terus maju untuk menjadi lebih baik, menjadi great, kita dipanggil dengan sapaan sebagai berikut ”.... haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mt.5:48). Dalam tradisi Ignatian tekad ini dikenal dengan istilah ’ bersikap magis, bersikap ’the more’, dalam arti selalu mau lebih baik dalam melayani Allah dan sesama, khususnya mereka-mereka yang terpinggirkan. Namun dewasa ini ada kesan kuat, bahwa Allah dan mereka yang terpinggirkan ’kalah’ dengan arus hedonisme, materialisme dan egosentrisme yang telah menjadi arus utama masyarakat kita dewasa ini.
Berkaitan dengan arus utama tersebut di atas maka kita perlu membangun tekad yang kuat untuk memiliki 3 keutamaan penting bagi kita semua dalam usaha menjadi pengikut dan murid serta sahabat Kristus Yesus, Sang Juruselamat. Ketiga keutamaan itu adalah apa yang diyakini oleh para pengikut Santo Ignatius Loyola sebagai sesuatu yang sangat hakiki, yaitu: kompeten, hati nurani (yang peka) dan belarasa (baik dalam suka maupun duka) kepada semua pihak yang terkait dengan kita (3C: competence, conscience dan compassion). Sebelum mendiskusikannya secara lebih mendalam, mungkin baik kalau kita menjawab pertanyaan mendasar di bawah ini.
Untuk apa sih kita hidup? Ada banyak jawaban tentunya, namun saya meyakini bahwa kita hidup untuk ’orang lain dan bersama orang lain’. Atau kalau menggunakan bahasa Injil, Tuhan kita Kristus Yesus menyatakan dengan sangat tegas sebagai berikut ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini” (Mk.12:30-31).
Keyakinan tersebut mulai saya sadari, pada waktu saya menjelang ujian sebagai akuntan (1968), saya ikut retret yang dipimpin oleh seorang Jesuit, Pater Hamma SJ, moderator PMKRI waktu itu. Pada salah satu sessi Pater Hamma mengajukan pertanyaan sebagai berikut ”Menurut kalian kita hidup di dunia ini untuk apa?”. Jawaban yang terlontar secara spontan adalah menjadi orang yang berhasil. Kemudian Pater melanjutkan dengan bertanya ”Menurut kalian orang yang disebut berhasil itu yang bagaimana?”. Jawabannya bermacam-macam, ada yang berkata, orang yang berhasil adalah mereka yang kaya, mereka yang berilmu, mereka yang menjadi pemimpin perusahaan, mereka yang menjadi pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Semua jawaban tersebut tidak salah sama sekali, namun belum menjadi jawaban yang mendasar. Kemudian Pater melanjutkan dengan memberikan pilihan, kami para peserta retret yang berjumlah 40 orang harus memilih, tidak boleh tidak memilih. Pilihannya adalah sebagai berikut: memilih menjadi jutawan, yang bisa memenuhi semua yang diinginkan (waktu itu – 1968 – menjadi jutawan sudah luar biasa), kecuali satu hal yang tidak bisa dipenuhi yaitu keinginan untuk berteman, kita harus hidup sendiri hanya bersama dengan milik kita saja. Atau menjadi orang yang sangat miskin namun ada teman, yang disayangi dan yang meyayangi. Semua peserta retret terdiam, tidak tahu harus memilih yang mana, pilihan yang sulit, akhirnya ada seorang peserta retret yang menjawab ”pilih menjadi jutawan’ dan kemudian diafirmasi oleh sebagian besar anak yang lain, hanya ada lima anak (termasuk saya) yang memilih menjadi orang yang sangat miskin. Kemudian Pater bertanya kepada kami berlima, mengapa kalian berlima memilih menjadi orang sangat miskin. Secara spontan, kami berlima menjawab ”apa enaknya hidup sendirian, tanpa siapa-siapa yang lain, tanpa sahabat, tanpa kekasih”.
Kemudian setelah melewati diskusi panjang dan cukup lama, akhirnya Pater menarik kesimpulan bahwa ’kita semua dipanggil untuk orang lain dan bersama orang lain’ dan agar hidup kita bermakna bagi orang lain, kita perlu memiliki kompetensi, hati nurani dan belarasa serta iman yang kuat kepadaNya . Dalam perjalanan selanjutnya maka saya berusaha untuk semakin menghayati ketiga keutamaan tersebut.
Mari kita melihat satu persatu-satu ketiga keutamaan tersebut di atas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kata kompetensi dijelaskan sebagai ”kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu”. Sedang dalam Kamus Istilah Manajemen (PPM, 1981) kata competence yang diterjemahkan sebagai kemampuan dijelaskan sebagai ”kemampuan mengerjakan kegiatan tertentu yang sesuai dengan standar. Bila kita merujuk pada seorang pakar yang bernama Richard E. Boyatzis (Competencies in the 21st Century, Journal of Management Development, vol. 27, no.1, 2008) mendefinisikan kompetensi sebagai berikut ”kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol”.
Sedang Yodhia Antariksa (http://strategimanajemen.net/2007/09/06/membangun-manajemen-sdm-berbasis-kompetensi) merumuskannya sebagai berikut ”kompetensi dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan, atribut personal dan pengetahuan yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diukur dan dievaluasi”. Dengan demikian kompetensi – bagi saya – tidak lain adalah praksis dari ke empat talenta dasar kita (kemampuan intelektual, kemampuan emosional, kemampuan moral dan kemampuan mencari, menemukan dan memberi makna pada kehidupan ini.
Selanjutnya Boyatzis membedakan antara ’soft competency’ dan ’hard competency’. Soft competency berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain, seperti kepemimpinan, komunikasi, relasi interpersonal, dan lain-lain. Sedang hard competency berkaitan dengan kemampuan fungsional tau teknis suatu pekerjaan, misalnya analisis finansial, perencanaan, dan lain-lain. Dengan demikian kompentensi memiliki 3 dimensi, yaitu kompetensi kognitif, dimensi kecerdasan emosional dan dimensi kecerdasan sosial. Atau dengan kata lain bisa saya rumuskan kompetensi tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk mensinergikan keempat kecerdasan dasar yang telah dimiliki (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan memberikan makna) dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.
Hati nurani atau suara hati dirumuskan dengan sangat bagus oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, art.16: ”Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya”. Dengan demikian hati nurani mengandaikan adanya iman dan relasi yang akrab serta mesra dengan Allah. Dengan kata lain hati nurani berkaitan erat dengan pribadi seseorang, sejauh mana nilai-nilai manusiawi dihayati. Namun dilain pihak hati nurani juga berkaitan dengan Allah, sejauh mana seseorang beriman dan menghayati nilai-nilai rohani sebagaimana diinginkan oleh Allah (seperti ’kasih, sukacita, damai sejahtera dan sebagainya, lihat Gal.5:22-23). Hasil dari hati nurani tidak lain adalah suatu keputusan moral yang berkaitan dengan nilai-nilai universal namun berciri subyektif, karena merupakan keputusan pribadi dan oleh karenanya menjadi tanggungjawab pribadi yang bersangkutan. Namun untuk itu kita perlu selalu membina hati nurani kita, dalam tradisi kristiani ada yang dikenal dengan pemeriksaan batin dan pembedaan roh (lihat 1Yo.4:1-6) serta pembimbing rohani, bisa seorang imam, seorang biarawan atau biarawati. Lewat bantuan mereka kita bisa membina hati nurani kita masing-masing. Oleh karena itu dalam tadisi katolik kita dianjurkan memiliki bapa/ibu rohani.
Bela rasa baik dalam suka maupun duka merupakan suatu keutamaan yang sangat penting – lebih-lebih dewasa ini di mana semangat egosentrisme, materialisme dan individualisme menjadi sangat dominan. Penginjil Markus memberikan kesaksian (1:41) bahwa Yesus memiliki sikap bela rasa yang sangat tinggi dengan menyatakan ”maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan .....”, dan yang lebih penting Yesus kemudian bertindak secara nyata dengan berkata ”Aku mau, jadilah engkau tahir”, begitu juga Rasul Paulus menulis di 1 Kor.9:22 sebagai berikut ”Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. ....”).
Manusia adalah makhluk yang selalu sedang ’menjadi’, makhluk yang belum selesai. Dalam proses ’menjadi’ manusia tidak bisa sendirian, dia memerlukan orang lain. Salah satu ciri manusia dewasa adalah manusia yang semakin sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain, ada suatu kesadaran akan adanya ’kesalingtergantungan’ (interdependence) dengan sesamanya, atau dengan kata lain, prinsip komplementer merupakan salah satu prinsip hakiki dalam kehidupan kita yang nyata.
Seorang pemikir kontemporer yang bernama Milton Mayerhoff lewat bukunya yang berjudul On Caring (1972) mengawali bukunya dengan langsung menulis ”Dalam arti yang paling tepat, memperhatikan seseorang lain tidak lain berarti menolong dia berkembang dan mewujudkan dirinya sendiri” (huruf italic berasal dari kami, penulis). Itulah yang dicontohkan oleh Guru kita, Dia membuka masa depan, bagi orang kusta yang pada waktu itu sungguh dipinggirkan oleh masyarakat, orang kusta menjadi ’sampah’, menjadi najis.
Berbela rasa baik dalam suka maupun duka sungguh tidak mudah, kita harus berani keluar dari jebakan diri sendiri, melepaskan diri dari jebakan egosentrisme, tapi itulah panggilan kita, sebagaimana dicontohkan oleh Guru kita. Gereja perdana mencoba menghayatinya dengan sungguh-sungguh sebagaimana bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-37, dilanjutkan sampai sekarang baik dengan Ajaran Sosial Gereja maupun dengan gerakan Aksi Puasa Pembangunan, dan kiprah Komisi/Seksi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi), serta komisi/seksi lain, seperti kesehatan dan lain-lain.
Tindak lanjut dari apa yang telah kita bangun selama masa prapaskah tidak lain kita harus ’bangkit dan bergerak’ dari kondisi baik menjadi sempurna/utama sebagaimana kita dipanggil oleh Junjungan kita semua. Mari kita bergandengan tangan dan mulai ’berbagi’ dengan apa yang kita miliki, entah itu pengetahuan, pengalaman, kemampuan ekonomi kita, dan lain-lain. Kita mulai di keluarga kita masing-masing, lingkungan kita, tempat kerja kita, maka pasti akan terjadi perubahan yang luar biasa.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip apa yang ditulis Anthony de Mello SJ (almarhum) dalam bukunya yang berjudul The Song of The Bird (1982) sebagai berikut: ”Sufi Bayasid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ’waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!’ Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah atu orangpun, aku mengubah doaku menjadi: ’Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: kjeluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ’Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya aku sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!’ Catatan kaki dari Anthony de Mello SJ adalah sebagai berikut: ”Setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia. Hampir tak seorangpun berpikir bagaimana mengubah dirinya sendiri”. Itulah kebodohan yang kubuat, dan baru kesadari dan kerubah sedikit demi sedikit sejak tahun 1982, lewat week-end Marriage Encounter yang telah menawarkan kepada kami ”Dialogue as the way of life”! (Bogor, akhir Februari 2012).
Selasa, 27 Maret 2012
Peranan keluarga dalam pendidikan anak usia dini, belajar dari Keluarga Elkana dan Hana serta Keluarga Kudus Nazaret
Stanislaus Nugroho
”Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil,
yakni bagaimana kita harus hidup sebagai orang tua?”
Mengapa kita mesti berbicara tentang pendidikan anak usia dini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya ingin mengutip cerita dari Anthony de Mello SJ., dalam buku The Song of The Bird, Gujarat Sahitya Prakash, Anand, India, 1982 sebagai berikut: “Seseorang menemukan sebutir telur elang dan meletakkannya di eraman induk ayam. Anak elang ini menetas bersama anak-anak ayam dan menjadi besar bersama-sama mereka pula. Selama hidupnya elang itu berbuat sama seperti se ekor ayam. Ia mengira bahwa dirinya juga seekor ayam saja. Ia mengais-ngais tanah untuk mencari cacing dan serangga. Ia berkotek-kotek. Dan ia juga mengebaskan sayapnya dan terbang tak seberapa jauh seperti ayam. Sebab begitulah lazimnya seekor ayam terbang, bukan? Tahun-tahun berlalu dan elang itu pun menjadi tua. Pada suatu hari ia melihat se ekor burung perkasa terbang tinggi di angkasa biru. Burung itu melayang-layang dengan indah dan lincah melawan tiupan angin, hampir-hampir tanpa mengepakkan sayapnya yang kuat dan berwarna keemas-emasan. Elang tua itu melihat ke atas dengan rasa kagum. Apakah itu? tanyanya kepada temannya. Itulah elang, raja segala burung, kata temannya. Tetapi jangan terlalu memikirkan hal itu. engkau dan aku berbeda dengan dia. Maka elang tua itu pun tidak pernah memikirkan hal itu lagi. Akhirnya ia mati dengan masih tetap mengira dirinya hanyalah se ekor ayam saja”. Dari cerita ini kita belajar bagaimana pengaruh lingkungan dan ’habit’ yang ditularkan sejak dini sangat mempengaruhi perkembangan kita.
Lewat psikologi kita belajar bahwa usia dini seorang anak merupakan sesuatu yang istimewa, suatu ’golden time’. Berbicara tentang pendidikan anak usia dini merupakan sesuatu yang bersifat strategis. Betapa tidak! Dari hasil-hasil penelitian psikologis menjadi jelas bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia sudah dimulai sejak dalam kandungan ibu dan berlangsung sepanjang hidup manusia yang bersangkutan. Manusia bukan makhluk ’yang sudah jadi’, melainkan selalu ’sedang menjadi’. Maka pendidikan merupakan panggilan dan pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai. Pendidikan bertujuan mengarahkan dan mengantar peserta didik kepada taraf insani, pada taraf manusia yang utuh (seutuh mungkin), dan yang mampu mensinergikan kemampuan-kemampuan manusiawi yang dimilikinya, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan mencari, menemukan dan memberi makna kehidupannya. Dalam rentang kehidupannya manusia mengalami tahapan-tahapan tertentu (pada bagian ini saya banyak berhutang pada Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D. (2004). Human Development. Boston: Mcgraw-Hill). Biasanya para ahli membagi tahapan kehidupan manusia sebagai berikut: 1) masa pranatal: dari konsepsi sampai lahir; 2) masa bayi (toddler): lahir sampai 3 tahun; 3) masa usia dini: 3 sampai 6 tahun; 4) masa usia sekolah: 6 sampai 11 tahun; 5) masa remaja: 11 sampai lebih kurang 20/21 tahun; 6) masa dewasa muda: 20/21 samai 40 tahun; 7) masa dewasa madya: 40 sampai 65 tahun; 8) masa dewasa akhir: 65 tahun dan selanjutnya. Setiap tahapan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan – sebagai karakteristik anak-anak usia dini – adalah sebagai berikut. Pertama kalau kita berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan manusia maka mau tidak mau pasti berkaitan beberapa aspek penting, yaitu aspek biologis-fisik; aspek sosial dan aspek psikologis. Kedua secara umum bisa dikatakan bahwa pada usia dini berlangsung pertumbuhan fisik yang relatif cepat biarpun lebih lambat jika dibandingkan dengan masa bayi. Ketrampilan motorik baik yang kasar maupun yang halus, serta koordinasi mata-tangan berkembang dengan cepat. Begitu pula perkembangan yang berkaitan dengan aspek kognitif berlangsung cepat, pada usia dini anak-anak sudah mulai mengenal dan menggunakan simbol. Umpamanya menggunakan sapu lidi sebagai pesawat terbang, deretan bangku sebagai kereta api, dan sebagainya. Anak usia dini sudah mulai memahami apa yang disebut dengan identitas diri, misalnya ibunya biasa memakai rok, tapi pada suatu hari ibunya mengenakan celana panjang dan hemd sebagaimana bapaknya, maka si anak tetap melihat figur tersebut tetap sebagai seorang ibu. Pada usia dini ketrampilan lain yang berkembang adalah kemampuan berempati, kalau kemampuan ini diarahkan dengan tepat anak akan mampu memahami perasaan-perasaan orang lain. Berkaitan dengan ini maka peranan orang tua menjadi sangat penting, dalam kaitan dengan mendidik kepekaan empati anak, yang akan sangat berguna dalam usaha menularkan sikap peduli pada situasi dan kondisi orang lain. Kepedulian itu ’menolong orang lain berkembang dan sekaligus mewujudkan dirinya sendiri’, demikianlah ungkapan Milton Mayerhoff dalam bukunya yang berjudul On Caring, 1972.
Secara kebetulan tema Aksi Puasa Pembangunan 2012 Keuskupan Bogor berbunyi sebagai berikut Membangun gaya hidup iman anak dan remaja yang misioner. Tujuan dari Aksi Puasa Pembangunan 2012 adalah ”menginspirasi gerakan bersama pertobatan umat serta perwujudan karya nyatanya mengarah pada upaya Membangun Gaya Hidup Iman Anak dan Remaja yang Misioner” (Kerangka Dasar Aksi Puasa Pembangunan 2012, Keuskupan Bogor, hal.5). Ada empat sub-tema yang disiapkan yaitu:
1) Orangtua menjadi teladan iman anak dan remaja;
2) Memupuk kebiasaan hidup kristiani dalam keluarga;
3)Kedewasaan hidup beriman;
4) Iman yang berkembang dalam hidup bermasyarakat.
Saya pikir sub-tema yang pertama dari empat permenungan yang disediakan berbunyi ”Orangtua menjadi teladan iman anak dan remaja” relavan sekali dengan apa yang menjadi pokok tulisan ini. Tujuan dari permenungan sub-tema yang pertama tidak lain adalah ”agar kita memahami dan menyadari bahwa orangtua berperan sebagai katekis bagi anak dan remaja, salah satunya menjadi teladan hidup beriman” (Panduan Renungan untuk Umat Paroki, hal. 13). Pada halaman 6 buku Panduan Renungan untuk Umat Paroki dijelaskan ”Siapakah katekis itu? Katekis adalah semua umat beriman kristiani, baik klerus maupun awam yang dipanggil dan diutus oleh Allah menjadi seorang pewarta Sabda Allah. Dengan kata lain profesi kehidupan seorang katekis adalah mengajar, mewartakan Sabda Allah.
Kita harus menyadari bahwa pewartaan Sabda Allah adalah bagian penting dari tugas pokok Gereja. Pewartaan Sabda Allah adalah tugas pokok dari semua umat beriman sebagai murid-murid Yesus. Hal itu diperintahkan oleh Kristus kepada murid-muridNya: ’Pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu’ (Mt.28:19)”. Dari penjelasan ini jelas bahwa orangtua dipanggil menjadi katekis bagi anak-anak mereka.
Dari pengalaman saya sebagai pendamping keluarga, maka banyak orangtua yang ingin sekali memenuhi tugas panggilannya tersebut dengan sebaik-baiknya, namun sering mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka merasa tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi katekis, menjadi pendidik yang pertama dan utama di bidang iman. Keluhan tersebut bisa dimengerti. Memang banyak sekali orangtua yang tidak dipersiapkan secara formal, namun sebetulnya kita bisa belajar dari 2 keluarga yang tercatat dalam Kitab Suci Kristiani. Satu dari Perjanjian Lama dan satu dari Perjanjian Baru. Kisah itu tentunya sama sekali tidak asing bagi kita orang-orang kristiani. Cerita dalam Perjanjian Lama adalah keluarga Elkana dan Hana (1Sam.1:1-28), dan yang dalam Perjanjian Baru adalah Keluarga Kudus Nazaret (bisa dibaca baik dalam Injil Mateus dan Lukas yang mengisahkan masa kanak-kanak Yesus).
Dari kisah-kisah tersebut di atas maka kita dapat belajar beberapa hal penting, sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang bisa menjadi orientasi para orangtua (ayah dan ibu) dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai katekis bagi anak-anak mereka.
Yang pertama dan yang paling penting (saya pikir) kedua keluarga tersebut di atas sadar betul bahwa anak mereka adalah anugerah Allah, Allah yang percaya kepada mereka untuk mengasuh, membesarkan dan mendidik anak-anak yang dipercayakan kepada mereka agar anak-anak nantinya bisa melaksanakan panggilan dan rencana Allah, ’makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lk.2:52). Untuk itu mereka – baik Elkana & Hana (1Sam.1:21-24) maupun Yusuf & Maria (Lk.2:21-24) – sangat setia melaksanakan hukum Allah, ajaran agamanya, misalnya yang mereka lakukan adalah ’mengembalikan’ kepada Sang Pemberi agar anak sulung mereka ’dibimbing sendiri’ olehNya. Dalam kisah tersebut di atas maka Elkana dan Hana menyerahkan Simeon dalam bimbingan Eli (1Sam.1:25-28) sejak disapih oleh ibunya, sedang Yusuf dan Maria mendidik Yesus sedemikian rupa agar Ia siap melaksanakan misiNya (Lk.2:40). Dari kisah masa kanak-kanak Yesus, kita bisa membaca betapa Bunda Maria dan Bapak Jusuf begitu taat dalam menjalankan hukum Taurat ”semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah” (Kel.13:2), karena Allah yang memilikiNya.
Yang kedua berkaitan dengan kepribadian Bapak Yusuf dan Bunda Maria. Tidak banyak informasi tentang Bunda Maria dan lebih-lebih Bapak Yusuf yang dapat ditemukan dalam ke empat Injil yang kita miliki, bahkan hanya dua Injil (Mateus dan Lukas) yang berbicara tentang masa kanak-kanak Yesus Kristus. Biarpun hanya sedikit informasi yang dapat ditemukan tentang Bapak Yusuf dan Bunda Maria, namun ada dua informasi yang sangat penting dan sangat mengesankan. Kedua informasi tersebut adalah berkaitan dengan ketulusan dan pribadi yang ’menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (Bunda Maria adalah pribadi yang tidak reaktif, atau bila meminjam istilah yang digunakan oleh Stephen R. Covey, Bunda Maria adalah pribadi yang proaktif). Saya pikir kedua ciri kepribadian tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini, khususnya kondisi keluarga-keluarga, sejauh yang bisa saya peroleh dari pengalaman melaksanakan kerasulan pendampingan keluarga yang telah saya lakukan selama ini.
Pertama-tama saya akan sedikit mengelaborasi istilah tulus hati (terjemahan dari kata Yunani dikaios = benar) yang dikaitkan dengan pribadi Bapak Yusuf (Mt.1:19) Akar kata ketulusan adalah kata tulus, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990, hal. 968) kata tulus dikaitkan dengan kata hati dan kata ikhlas, kemudian dijelaskan sebagai ’sungguh bersih hati (benar-benar terbit dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong), sedang kata ’ketulusan (hati)’ dijelaskan sebagai ’kesungguhan dan kebersihan hati; kejujuran. Hati yang bersih merupakan Tahta Allah, Bait Allah, wahana di mana Allah membisikkan SabdaNya, perintahNya, arahanNya, agar kita dapat berpetualang di dunia dengan tepat, dapat menemukan dan melaksanakan rencana Allah (lihat Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 16, Konsili Vatikan II). Itulah yang bisa kita temukan dengan pribadi Bapak Yusuf. Dari Mt.1:18-25 kita tahu bahwa pada awalnya Bapak Yusuf – setelah mengetahui bahwa Bunda Maria telah mengandung dari Roh Kudus – bermaksud untuk menceraikan Bunda Maria dengan diam-diam, tidak lewat proses hukum karena tidak ingin mencemarkan nama isterinya di muka umum. Namun setelah mendapat mimpi di mana Allah menyampaikan rencananya maka Bapak Yusuf memenuhi rencana Allah dengan tetap mengambil Bunda Maria sebagai isterinya. Dalam konteks inilah maka penginjil Mateus menyebut Bapak Yusuf sebagai sebagai seorang ’tulus hatinya’, biarpun mungkin tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang direncanakan oleh Allah namun Bapak Yusuf dengan penuh kepercayaan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Allah.
Dalam kaitan dengan pendidikan anak banyak orangtua, yang terjebak pada ’sikap yang reaktif’. Sikap yang reaktif – kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Thomas Gordon, dalam bukunya yang berjudul Parent Effectiveness Training, 1975) – merupakan sikap yang melatarbelakangi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan You-Message. Misalnya, ’Kamu memang nakal sekali’; ’Kamu berperilaku seperti bayi’, ’Kamu selalu minta diperhatikan’.
Sebaliknya seorang yang memiliki sikap proaktif, merupakan sikap yang melatarbelakangi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan I-Message. Dengan I-Message maka orang tuanya mengungkapkan dirinya. Orangtua mengungkapkan perasaannya, pikirannya yang muncul berkaitan dengan apa yang dilihat, dirasakan dan dipikirkan yang berhubungan dengan perilaku anak-anaknya. Misalnya, ’Saya sedih melihat meja tamu kita berantakan, padahal kita sudah bersepakat bila ada yang menggunakan meja tamu untuk tempat bermain-main maka setelah selesai mengaturnya kembali’. Dengan I-Message maka orangtua tidak memberikan cap-negatif kepada anak-anaknya, dengan I-Mesage orangtua mengingatkan anak-anaknya bahwa ada suatu kesepakatan yang dilanggar, orangtua membantu anak-anaknya bertanggungjawab. Lewat pesan-pesan yang jujur akan membangkitkan tanggapan yang jujur dari anak-anak. Maka di sini kita membangun sikap menang-menang, tidak ada yang kalah, tidak ada yang divonnis.
Untuk ini – dari pengalaman penulis – sebagai orangtua kita membutuhkan kemauan kuat untuk meneladani apa yang dilakukan oleh Bunda Maria, ’menyimpan semua perkara di dalam hatinya’ (Lk.2:52), maksudnya kita tidak menanggapi secara spontan apa yang kita lihat atau kita rasakan, perlu mengambil waktu sejenak, menenangkan diri, merefleksikan diri dan menyiapkan ungkapan yang tepat agar tidak menimbulkan situasi menang-kalah, melainkan situasi menang-menang.
Yang ketiga yang perlu kita teladani dari kedua keluarga tersebut di atas adalah sikap mereka yang menghayati betul apa yang diajarkan oleh agamanya bahwa ’anak adalah milik Allah’ yang dititipkan kepada kita sebagai orangtuanya, tugas kita adalah mengantar anak-anak yang dititipkan kepada kita tersebut siap untuk menemukan dan melaksanakan rencana Allah secara tepat.
Marilah kita sebagai orangtua, bertanya kepada diri kita sendiri dan kemudian dialogkan dengan pasangan kita masing-masing, ’apakah kita sudah berperan sebagaimana kita belajar dari pasutri Elkana & Hana serta pasutri Yusuf & Maria?’
Stanislaus Nugroho
”Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil,
yakni bagaimana kita harus hidup sebagai orang tua?”
Mengapa kita mesti berbicara tentang pendidikan anak usia dini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya ingin mengutip cerita dari Anthony de Mello SJ., dalam buku The Song of The Bird, Gujarat Sahitya Prakash, Anand, India, 1982 sebagai berikut: “Seseorang menemukan sebutir telur elang dan meletakkannya di eraman induk ayam. Anak elang ini menetas bersama anak-anak ayam dan menjadi besar bersama-sama mereka pula. Selama hidupnya elang itu berbuat sama seperti se ekor ayam. Ia mengira bahwa dirinya juga seekor ayam saja. Ia mengais-ngais tanah untuk mencari cacing dan serangga. Ia berkotek-kotek. Dan ia juga mengebaskan sayapnya dan terbang tak seberapa jauh seperti ayam. Sebab begitulah lazimnya seekor ayam terbang, bukan? Tahun-tahun berlalu dan elang itu pun menjadi tua. Pada suatu hari ia melihat se ekor burung perkasa terbang tinggi di angkasa biru. Burung itu melayang-layang dengan indah dan lincah melawan tiupan angin, hampir-hampir tanpa mengepakkan sayapnya yang kuat dan berwarna keemas-emasan. Elang tua itu melihat ke atas dengan rasa kagum. Apakah itu? tanyanya kepada temannya. Itulah elang, raja segala burung, kata temannya. Tetapi jangan terlalu memikirkan hal itu. engkau dan aku berbeda dengan dia. Maka elang tua itu pun tidak pernah memikirkan hal itu lagi. Akhirnya ia mati dengan masih tetap mengira dirinya hanyalah se ekor ayam saja”. Dari cerita ini kita belajar bagaimana pengaruh lingkungan dan ’habit’ yang ditularkan sejak dini sangat mempengaruhi perkembangan kita.
Lewat psikologi kita belajar bahwa usia dini seorang anak merupakan sesuatu yang istimewa, suatu ’golden time’. Berbicara tentang pendidikan anak usia dini merupakan sesuatu yang bersifat strategis. Betapa tidak! Dari hasil-hasil penelitian psikologis menjadi jelas bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia sudah dimulai sejak dalam kandungan ibu dan berlangsung sepanjang hidup manusia yang bersangkutan. Manusia bukan makhluk ’yang sudah jadi’, melainkan selalu ’sedang menjadi’. Maka pendidikan merupakan panggilan dan pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai. Pendidikan bertujuan mengarahkan dan mengantar peserta didik kepada taraf insani, pada taraf manusia yang utuh (seutuh mungkin), dan yang mampu mensinergikan kemampuan-kemampuan manusiawi yang dimilikinya, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan mencari, menemukan dan memberi makna kehidupannya. Dalam rentang kehidupannya manusia mengalami tahapan-tahapan tertentu (pada bagian ini saya banyak berhutang pada Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D. (2004). Human Development. Boston: Mcgraw-Hill). Biasanya para ahli membagi tahapan kehidupan manusia sebagai berikut: 1) masa pranatal: dari konsepsi sampai lahir; 2) masa bayi (toddler): lahir sampai 3 tahun; 3) masa usia dini: 3 sampai 6 tahun; 4) masa usia sekolah: 6 sampai 11 tahun; 5) masa remaja: 11 sampai lebih kurang 20/21 tahun; 6) masa dewasa muda: 20/21 samai 40 tahun; 7) masa dewasa madya: 40 sampai 65 tahun; 8) masa dewasa akhir: 65 tahun dan selanjutnya. Setiap tahapan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan – sebagai karakteristik anak-anak usia dini – adalah sebagai berikut. Pertama kalau kita berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan manusia maka mau tidak mau pasti berkaitan beberapa aspek penting, yaitu aspek biologis-fisik; aspek sosial dan aspek psikologis. Kedua secara umum bisa dikatakan bahwa pada usia dini berlangsung pertumbuhan fisik yang relatif cepat biarpun lebih lambat jika dibandingkan dengan masa bayi. Ketrampilan motorik baik yang kasar maupun yang halus, serta koordinasi mata-tangan berkembang dengan cepat. Begitu pula perkembangan yang berkaitan dengan aspek kognitif berlangsung cepat, pada usia dini anak-anak sudah mulai mengenal dan menggunakan simbol. Umpamanya menggunakan sapu lidi sebagai pesawat terbang, deretan bangku sebagai kereta api, dan sebagainya. Anak usia dini sudah mulai memahami apa yang disebut dengan identitas diri, misalnya ibunya biasa memakai rok, tapi pada suatu hari ibunya mengenakan celana panjang dan hemd sebagaimana bapaknya, maka si anak tetap melihat figur tersebut tetap sebagai seorang ibu. Pada usia dini ketrampilan lain yang berkembang adalah kemampuan berempati, kalau kemampuan ini diarahkan dengan tepat anak akan mampu memahami perasaan-perasaan orang lain. Berkaitan dengan ini maka peranan orang tua menjadi sangat penting, dalam kaitan dengan mendidik kepekaan empati anak, yang akan sangat berguna dalam usaha menularkan sikap peduli pada situasi dan kondisi orang lain. Kepedulian itu ’menolong orang lain berkembang dan sekaligus mewujudkan dirinya sendiri’, demikianlah ungkapan Milton Mayerhoff dalam bukunya yang berjudul On Caring, 1972.
Secara kebetulan tema Aksi Puasa Pembangunan 2012 Keuskupan Bogor berbunyi sebagai berikut Membangun gaya hidup iman anak dan remaja yang misioner. Tujuan dari Aksi Puasa Pembangunan 2012 adalah ”menginspirasi gerakan bersama pertobatan umat serta perwujudan karya nyatanya mengarah pada upaya Membangun Gaya Hidup Iman Anak dan Remaja yang Misioner” (Kerangka Dasar Aksi Puasa Pembangunan 2012, Keuskupan Bogor, hal.5). Ada empat sub-tema yang disiapkan yaitu:
1) Orangtua menjadi teladan iman anak dan remaja;
2) Memupuk kebiasaan hidup kristiani dalam keluarga;
3)Kedewasaan hidup beriman;
4) Iman yang berkembang dalam hidup bermasyarakat.
Saya pikir sub-tema yang pertama dari empat permenungan yang disediakan berbunyi ”Orangtua menjadi teladan iman anak dan remaja” relavan sekali dengan apa yang menjadi pokok tulisan ini. Tujuan dari permenungan sub-tema yang pertama tidak lain adalah ”agar kita memahami dan menyadari bahwa orangtua berperan sebagai katekis bagi anak dan remaja, salah satunya menjadi teladan hidup beriman” (Panduan Renungan untuk Umat Paroki, hal. 13). Pada halaman 6 buku Panduan Renungan untuk Umat Paroki dijelaskan ”Siapakah katekis itu? Katekis adalah semua umat beriman kristiani, baik klerus maupun awam yang dipanggil dan diutus oleh Allah menjadi seorang pewarta Sabda Allah. Dengan kata lain profesi kehidupan seorang katekis adalah mengajar, mewartakan Sabda Allah.
Kita harus menyadari bahwa pewartaan Sabda Allah adalah bagian penting dari tugas pokok Gereja. Pewartaan Sabda Allah adalah tugas pokok dari semua umat beriman sebagai murid-murid Yesus. Hal itu diperintahkan oleh Kristus kepada murid-muridNya: ’Pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu’ (Mt.28:19)”. Dari penjelasan ini jelas bahwa orangtua dipanggil menjadi katekis bagi anak-anak mereka.
Dari pengalaman saya sebagai pendamping keluarga, maka banyak orangtua yang ingin sekali memenuhi tugas panggilannya tersebut dengan sebaik-baiknya, namun sering mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka merasa tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi katekis, menjadi pendidik yang pertama dan utama di bidang iman. Keluhan tersebut bisa dimengerti. Memang banyak sekali orangtua yang tidak dipersiapkan secara formal, namun sebetulnya kita bisa belajar dari 2 keluarga yang tercatat dalam Kitab Suci Kristiani. Satu dari Perjanjian Lama dan satu dari Perjanjian Baru. Kisah itu tentunya sama sekali tidak asing bagi kita orang-orang kristiani. Cerita dalam Perjanjian Lama adalah keluarga Elkana dan Hana (1Sam.1:1-28), dan yang dalam Perjanjian Baru adalah Keluarga Kudus Nazaret (bisa dibaca baik dalam Injil Mateus dan Lukas yang mengisahkan masa kanak-kanak Yesus).
Dari kisah-kisah tersebut di atas maka kita dapat belajar beberapa hal penting, sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang bisa menjadi orientasi para orangtua (ayah dan ibu) dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai katekis bagi anak-anak mereka.
Yang pertama dan yang paling penting (saya pikir) kedua keluarga tersebut di atas sadar betul bahwa anak mereka adalah anugerah Allah, Allah yang percaya kepada mereka untuk mengasuh, membesarkan dan mendidik anak-anak yang dipercayakan kepada mereka agar anak-anak nantinya bisa melaksanakan panggilan dan rencana Allah, ’makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lk.2:52). Untuk itu mereka – baik Elkana & Hana (1Sam.1:21-24) maupun Yusuf & Maria (Lk.2:21-24) – sangat setia melaksanakan hukum Allah, ajaran agamanya, misalnya yang mereka lakukan adalah ’mengembalikan’ kepada Sang Pemberi agar anak sulung mereka ’dibimbing sendiri’ olehNya. Dalam kisah tersebut di atas maka Elkana dan Hana menyerahkan Simeon dalam bimbingan Eli (1Sam.1:25-28) sejak disapih oleh ibunya, sedang Yusuf dan Maria mendidik Yesus sedemikian rupa agar Ia siap melaksanakan misiNya (Lk.2:40). Dari kisah masa kanak-kanak Yesus, kita bisa membaca betapa Bunda Maria dan Bapak Jusuf begitu taat dalam menjalankan hukum Taurat ”semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah” (Kel.13:2), karena Allah yang memilikiNya.
Yang kedua berkaitan dengan kepribadian Bapak Yusuf dan Bunda Maria. Tidak banyak informasi tentang Bunda Maria dan lebih-lebih Bapak Yusuf yang dapat ditemukan dalam ke empat Injil yang kita miliki, bahkan hanya dua Injil (Mateus dan Lukas) yang berbicara tentang masa kanak-kanak Yesus Kristus. Biarpun hanya sedikit informasi yang dapat ditemukan tentang Bapak Yusuf dan Bunda Maria, namun ada dua informasi yang sangat penting dan sangat mengesankan. Kedua informasi tersebut adalah berkaitan dengan ketulusan dan pribadi yang ’menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (Bunda Maria adalah pribadi yang tidak reaktif, atau bila meminjam istilah yang digunakan oleh Stephen R. Covey, Bunda Maria adalah pribadi yang proaktif). Saya pikir kedua ciri kepribadian tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini, khususnya kondisi keluarga-keluarga, sejauh yang bisa saya peroleh dari pengalaman melaksanakan kerasulan pendampingan keluarga yang telah saya lakukan selama ini.
Pertama-tama saya akan sedikit mengelaborasi istilah tulus hati (terjemahan dari kata Yunani dikaios = benar) yang dikaitkan dengan pribadi Bapak Yusuf (Mt.1:19) Akar kata ketulusan adalah kata tulus, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990, hal. 968) kata tulus dikaitkan dengan kata hati dan kata ikhlas, kemudian dijelaskan sebagai ’sungguh bersih hati (benar-benar terbit dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong), sedang kata ’ketulusan (hati)’ dijelaskan sebagai ’kesungguhan dan kebersihan hati; kejujuran. Hati yang bersih merupakan Tahta Allah, Bait Allah, wahana di mana Allah membisikkan SabdaNya, perintahNya, arahanNya, agar kita dapat berpetualang di dunia dengan tepat, dapat menemukan dan melaksanakan rencana Allah (lihat Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 16, Konsili Vatikan II). Itulah yang bisa kita temukan dengan pribadi Bapak Yusuf. Dari Mt.1:18-25 kita tahu bahwa pada awalnya Bapak Yusuf – setelah mengetahui bahwa Bunda Maria telah mengandung dari Roh Kudus – bermaksud untuk menceraikan Bunda Maria dengan diam-diam, tidak lewat proses hukum karena tidak ingin mencemarkan nama isterinya di muka umum. Namun setelah mendapat mimpi di mana Allah menyampaikan rencananya maka Bapak Yusuf memenuhi rencana Allah dengan tetap mengambil Bunda Maria sebagai isterinya. Dalam konteks inilah maka penginjil Mateus menyebut Bapak Yusuf sebagai sebagai seorang ’tulus hatinya’, biarpun mungkin tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang direncanakan oleh Allah namun Bapak Yusuf dengan penuh kepercayaan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Allah.
Dalam kaitan dengan pendidikan anak banyak orangtua, yang terjebak pada ’sikap yang reaktif’. Sikap yang reaktif – kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Thomas Gordon, dalam bukunya yang berjudul Parent Effectiveness Training, 1975) – merupakan sikap yang melatarbelakangi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan You-Message. Misalnya, ’Kamu memang nakal sekali’; ’Kamu berperilaku seperti bayi’, ’Kamu selalu minta diperhatikan’.
Sebaliknya seorang yang memiliki sikap proaktif, merupakan sikap yang melatarbelakangi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan I-Message. Dengan I-Message maka orang tuanya mengungkapkan dirinya. Orangtua mengungkapkan perasaannya, pikirannya yang muncul berkaitan dengan apa yang dilihat, dirasakan dan dipikirkan yang berhubungan dengan perilaku anak-anaknya. Misalnya, ’Saya sedih melihat meja tamu kita berantakan, padahal kita sudah bersepakat bila ada yang menggunakan meja tamu untuk tempat bermain-main maka setelah selesai mengaturnya kembali’. Dengan I-Message maka orangtua tidak memberikan cap-negatif kepada anak-anaknya, dengan I-Mesage orangtua mengingatkan anak-anaknya bahwa ada suatu kesepakatan yang dilanggar, orangtua membantu anak-anaknya bertanggungjawab. Lewat pesan-pesan yang jujur akan membangkitkan tanggapan yang jujur dari anak-anak. Maka di sini kita membangun sikap menang-menang, tidak ada yang kalah, tidak ada yang divonnis.
Untuk ini – dari pengalaman penulis – sebagai orangtua kita membutuhkan kemauan kuat untuk meneladani apa yang dilakukan oleh Bunda Maria, ’menyimpan semua perkara di dalam hatinya’ (Lk.2:52), maksudnya kita tidak menanggapi secara spontan apa yang kita lihat atau kita rasakan, perlu mengambil waktu sejenak, menenangkan diri, merefleksikan diri dan menyiapkan ungkapan yang tepat agar tidak menimbulkan situasi menang-kalah, melainkan situasi menang-menang.
Yang ketiga yang perlu kita teladani dari kedua keluarga tersebut di atas adalah sikap mereka yang menghayati betul apa yang diajarkan oleh agamanya bahwa ’anak adalah milik Allah’ yang dititipkan kepada kita sebagai orangtuanya, tugas kita adalah mengantar anak-anak yang dititipkan kepada kita tersebut siap untuk menemukan dan melaksanakan rencana Allah secara tepat.
Marilah kita sebagai orangtua, bertanya kepada diri kita sendiri dan kemudian dialogkan dengan pasangan kita masing-masing, ’apakah kita sudah berperan sebagaimana kita belajar dari pasutri Elkana & Hana serta pasutri Yusuf & Maria?’
Senin, 30 Januari 2012
Moralitas: pelita kehidupan keluarga
Stanislaus Nugroho
Dewasa ini kehidupan manusia ditandai oleh adanya perkembangan dan kemajuan yang sangat luar biasa, sangat menakjubkan. Kemajuan dan perkembangan tersebut dipicu dan didorong oleh adanya kemajuan di bidang sains dan teknologi yang sangat luar biasa, khususnya yang berkaitan dengan teknologi informasi.
Sebagaimana biasa setiap kemajuan dan perkembangan selalu mempunyai dua sisi. Sisi pertama biasanya berciri positif: hidup manusia menjadi lebih nyaman, lebih gampang, lebih enak. Namun sisi yang lain berupa ancaman: kebingungan nilai-nilai yang dianut, dan terjadinya deforestisasi dan peng-gurun-an, pemanasan global, efek rumah kaca; hujan asam; kerusakan lapisan ozon atau dengan satu istilah ’perusakan ekosistem’ yang sangat mencekam. Ancaman ini merupakan akibat dari ulah manusia, ada masalah moral dan etis yang sangat serius karena tidak hanya mengancam satu dua orang, namun mengancam seluruh umat manusia, ancaman ini bukan main-main. Maka John Naisbitt dan kawan-kawan lewat bukunya - yang merupakan suatu usaha mencari makna di tengah perkembangan teknologi yang luar biasa, khususnya di bidang teknologi informasi - mengingatkan pentingnya moralitas.
Namun, biasanya orang segan berbicara tentang moralitas, cukup banyak orang yang sambil mencibirkan bibir berkomentar, ’ah, lu sok suci’. Padahal moralitas itu penting, bahkan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebelumnya mungkin baik bila kita jelas dulu dengan apa yang dimaksud dengan moralitas. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) halaman 592 maka kita menemukan penjelasan sebagai berikut ”moralitas, sopan santu, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun”. Kalau kita membuka buku Etika (1993) karangan K. Bertens, halaman 7, maka kita menemukan penjelasan sebagai berikut ”Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk”. Bagi saya moralitas merupakan ’suatu disposisi sikap manusia terhadap suatu tindakannya sendiri atau orang lain, maka moralitas berkaitan dengan kemamuan manusia untuk berpikir, berperasaan dan berkemauan/berkehendak bebas’.
Mengapa moralitas itu penting? Moralitas menjadi sangat penting karena moralitas mengacu pada keutuhan manusia sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri. Manusia sebagai citra Allah diberi anugerah yang luar biasa yaitu: kebebasan, kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Untuk dapat menggunakan kebebasannya dengan tepat maka paling sedikit manusia dibekali oleh Sang Pencipta dengan empat talenta dasar, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan memaknai. Bila manusia mampu mengembangkan dan mensinergikan keempat kecerdasan itu maka dia akan mampu mengubah ancaman menjadi peluang karena manusia mampu untuk selalu berpikir dan bersikap positif .
Dari keempat kecerdasan tersebut maka pada kesempatan ini saya akan berfokus pada kecerdasan moral, sesuai dengan judul tulisan ini. Yang saya maksud dengan kecerdasan moral adalah kemampuan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, mampu membedakan yang benar yang salah. Sejarah pemikiran manusia telah memperlihatkan sejak lama betapa begitu banyak pemikir (dalam kaitan ini saya hanya menyebut empat pemikir, dua dari barat dan dua dari timur). Sudah diawali pada abad 5 sebelum Masehi di Yunani oleh orang yang bernama Sokrates (470/469-399 SM), dalam diskusinya dengan kaum Sofis, Sokrates sampai pada kesimpulan bahwa ’tujuan tertinggi/tujuan akhir hidup manusia ialah membuat jiwanya (daimonnya) menjadi sempurna’. Maka bagi Sokrates berbicara tentang moralitas berarti ’Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita harus hidup’. Kesimpulan ini diikuti dan dilanjutkan oleh Plato (428/427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Dari ketiga pemikir tersebut dikenal istilah empat keutamaan filosofis, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan.
Sedang di Timur (Tingkok) muncul pemikir-pemikir seperti Konfusius (551-479 SM) dan Laotse (604-531 SM). Konfusius sangat menekankan pentingnya pembangunan diri atau pemberadaban diri atau ’self cultivation’, dengan kata lain Konfusius menekankan pentingnya keteladan moral serta pentingnya membuat keputusan yang tepat. Begitu pula dengan Laotse yang mengemukakan adanya tiga keutamaan utama yaitu compassion (bela rasa baik dalam suka maupun dalam duka); moderation (bersikap moderat/tidak berlebihan) dan humility (kesederhanaan) .
Pemikiran-pemikiran semacam ini dalam sejarah pemikiran manusia dikenal dengan istilah etika keutamaan (virtue ethics) yang sampai sekarang masih tetap ada yang mengikuti dan mengembangkannya, misalnya yang paling banyak dipelajari saat ini adalah apa yang dikembangkan Sthephen R. Covey – yang menjadi terkenal – dengan bukunya yang berjudul The Seventh Habits of Highly Effective People (1989) dan kemudian pada tahun 1999 terbitlah buku yang berjudul The Seventh Habits 0f Highly Effective Families, dilanjutkan dengan bukunya yang paling akhir – sejauh yang yang saya ketahui – berjudul The Eight Habit. From Effectiveness to Greatness (2004).
Pada akhir tahun 2004 KWI menerbitkan Nota Pastoral dengan judul Keadaban Publik: Menuju Habitus baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi semua: Pendekatan Sosio Budaya . Dalam Nota Pastoral tersebut dinyatakan adanya tiga penyakit sosial yang menggerogoti keadaban publik. Ketiga penyakit sosial tersebut tidak lain adalah korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Di samping ketiga penyakit sosial tersebut maka saya pikir perlu disebut juga satu penyakit sosial yang lain, yaitu kemiskinan, atau mungkin lebih tepat ketimpangan pembangunan manusia seutuhnya. Dan saya pikir ke empat penyakit sosial tersebut sebenarnya berakar pada hancurnya moralitas, matinya hati nurani. Kemampuan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah makin tergerogoti oleh desakan budaya ’pola hidup yang sangat konsumtif’, pola hidup yang ditandai dengan semangat mengejar kenikmatan, kesenangan (hedonisme) dan mengejar materi (materialiasme). Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini artikel 16 merumuskan dengan indah apa yang dimaksud dengan hati nurani, yakni ’Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya’. Dengan rumusan tersebut – bagi saya – Gereja ingin mengajarkan kepada kita semua agar kita membangun suatu relasi yang akrab dan mesra dengan Allah, agar hati nurani kita sungguh menjadi peka. Memang suatu ironi dengan kondisi kita saat ini di mana secara formal kehidupan beragama di Indonesia sangat meriah, mesjid, gereja dan tempat-tempat ibadat yang lain selalu penuh pada saat umat beribadat, namun di lain pihak penyakit sosial sebagaimana yang telah disebut di atas merajalela. Itulah akibat kalau kita mengalami keterjebakan dalam formalisme, ritualisme dan legalisme agama. Antara kehidupan beribadat dan kehidupan sosial sehari-hari terjadi kesenjangan yang semakin melebar, seperti rela kereta api yang tidak pernah bertemu.
Dalam kondisi seperti ini maka keluarga memperoleh tantangan berat namun sangat strategis – hal ini berkaitan dengan peranan keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama – yaitu bagaimana membekali anak-anak dengan akar (nilai-nilai) yang kuat. Pembekalan ini berlangsung dalam konteks komunikasi keluarga, baik verbal maupun non verbal. Komunikasi verbal terungkap lewat dialog, pembicaraan dari hati ke hati, bukan instruksi, bukan debat, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52 sebagai berikut ”Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak”. Komunikasi non-verbal terungkap lewat keteladanan orangtua, dari pengalaman menjadi jelas bahwa pendekatan ini adalah yang paling berdaya-guna. Nilai-nilai mana yang perlu dikomunikasikan? Sebelumnya mungkin baik bila kita mencoba merumuskan terlebih dahulu apa sebenarnya yang kita maksud dengan nilai itu. Nilai itu selalu berkaitan dengan sesuatu yang positif/baik, baik secara moral, dengan menghayati nilai-nilai tersebut maka kita akan menjadi manusia yang utuh. Seorang pemikir Jerman yang bernama Max Scheler (1874-1928) berpendapat bahwa nilai itu suatu kualitas yang bersifat apriori (= untuk menghayatinya tidak memerlukan suatu pengalaman konkret). Selain itu bagi Max Scheler nilai mengenal tingkatan, mengenal hirarki, dari tingkat rendah ke tingkat tinggi. Mulai dari nilai-nilai yang berkaitan dengan kesenangan, kenikmatan, nilai-nilai ini berkaitan dengan yang indrawi. Disusul nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas atau kehidupan, nilai-nilai ini tidak lepas dari kesejahteraan hidup baik pribadi maupun sosial. Berikutnya ada nilai-nilai yang berkaitan dengan yang-spiritual, kadang-kadang untuk menghayatinya kita perlu ’mengorbankan’ sesuatu misalnya yang berkaitan dengan nilai-nilai tingkat pertama bahkan tingkat yang kedua, umpamanya keindahan, keadilan. Akhirnya nilai tingkat ke empat berkaitan dengan kesucian, dengan yang absolut.
Diane Tillmann dan Pilar Quera Colomina mendaftarkan 12 nilai-nilai sebagai berikut: kedamaian; penghargaan; cinta; kebahagiaan; kebebasan; kejujuran; kerendahan hati; toleransi; kerjasama; tanggungjawab; kesederhanaan dan persatuan. Keduabelas nilai tersebut merupakan nilai-nilai universal yang harus kita perjuangkan bagi terciptanya dunia baru, dunia yang lebih baik, dunia yang kita dambakan. Bagi saya daftar nilai tersebut diatas perlu ditambah dengan satu nilai yang sangat relevan dengan kondisi sekarang, yaitu kepedulian (care) yang tulus dalam konteks relasi dengan orang lain, sebagaimana ditekankan oleh Carol Gilligan dalam bukunya yang berjudul In a Different Voice: Psychological Theory and Woman’s Development (1993).
Kembali ke Nota Pastoral KWI 2004, Gereja Indonesia mengajak kita semua untuk membangun budaya alternatif, Gereja sadar sesadar-sadarnya bahwa ”membangun dan mengembangkan budaya alternatif bukan pilihan yang mudah, karena Gereja sendiri rapuh, tidak mudah memperbaharui diri dari dalam dan Gereja hidup di tengah-tengah masyarakat yang dilanda oleh kekuatan-kekuatan yang merusak itu. Namun dengan membangun dan mengembangkan budaya alternatif, Gereja memperlihatkan bahwa masih ada kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk mengadakan perlawanan terhadap perusakan keadaban publik. Pengembangan budaya alternatif paling ideal dilakukan melalui pendidikan nilai, khususnya bagi orang muda. Melalui pendidikan itu, mereka diajak, diberi kesempatan dan kemungkinan untuk mengalami secara nyata makna kehidupan, kasih sejati, pengampunan dan nilai-nilai yang lain. Dalam hal ini peranan keluarga amat menentukan ” (art.19).
Akhirnya marilah kita tanggapi secara positif ajakan Gereja Indonesia tersebut, agar moralitas sungguh dapat menjadi pelita kehidupan keluarga di dunia, khususnya di Indonesia, dengan berusaha sungguh-sungguh membangun budaya nilai di keluarga kita masing-masing.
Bogor, 27 Januari 2012.
Stanislaus Nugroho
Dewasa ini kehidupan manusia ditandai oleh adanya perkembangan dan kemajuan yang sangat luar biasa, sangat menakjubkan. Kemajuan dan perkembangan tersebut dipicu dan didorong oleh adanya kemajuan di bidang sains dan teknologi yang sangat luar biasa, khususnya yang berkaitan dengan teknologi informasi.
Sebagaimana biasa setiap kemajuan dan perkembangan selalu mempunyai dua sisi. Sisi pertama biasanya berciri positif: hidup manusia menjadi lebih nyaman, lebih gampang, lebih enak. Namun sisi yang lain berupa ancaman: kebingungan nilai-nilai yang dianut, dan terjadinya deforestisasi dan peng-gurun-an, pemanasan global, efek rumah kaca; hujan asam; kerusakan lapisan ozon atau dengan satu istilah ’perusakan ekosistem’ yang sangat mencekam. Ancaman ini merupakan akibat dari ulah manusia, ada masalah moral dan etis yang sangat serius karena tidak hanya mengancam satu dua orang, namun mengancam seluruh umat manusia, ancaman ini bukan main-main. Maka John Naisbitt dan kawan-kawan lewat bukunya - yang merupakan suatu usaha mencari makna di tengah perkembangan teknologi yang luar biasa, khususnya di bidang teknologi informasi - mengingatkan pentingnya moralitas.
Namun, biasanya orang segan berbicara tentang moralitas, cukup banyak orang yang sambil mencibirkan bibir berkomentar, ’ah, lu sok suci’. Padahal moralitas itu penting, bahkan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebelumnya mungkin baik bila kita jelas dulu dengan apa yang dimaksud dengan moralitas. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) halaman 592 maka kita menemukan penjelasan sebagai berikut ”moralitas, sopan santu, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun”. Kalau kita membuka buku Etika (1993) karangan K. Bertens, halaman 7, maka kita menemukan penjelasan sebagai berikut ”Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk”. Bagi saya moralitas merupakan ’suatu disposisi sikap manusia terhadap suatu tindakannya sendiri atau orang lain, maka moralitas berkaitan dengan kemamuan manusia untuk berpikir, berperasaan dan berkemauan/berkehendak bebas’.
Mengapa moralitas itu penting? Moralitas menjadi sangat penting karena moralitas mengacu pada keutuhan manusia sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri. Manusia sebagai citra Allah diberi anugerah yang luar biasa yaitu: kebebasan, kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Untuk dapat menggunakan kebebasannya dengan tepat maka paling sedikit manusia dibekali oleh Sang Pencipta dengan empat talenta dasar, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan memaknai. Bila manusia mampu mengembangkan dan mensinergikan keempat kecerdasan itu maka dia akan mampu mengubah ancaman menjadi peluang karena manusia mampu untuk selalu berpikir dan bersikap positif .
Dari keempat kecerdasan tersebut maka pada kesempatan ini saya akan berfokus pada kecerdasan moral, sesuai dengan judul tulisan ini. Yang saya maksud dengan kecerdasan moral adalah kemampuan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, mampu membedakan yang benar yang salah. Sejarah pemikiran manusia telah memperlihatkan sejak lama betapa begitu banyak pemikir (dalam kaitan ini saya hanya menyebut empat pemikir, dua dari barat dan dua dari timur). Sudah diawali pada abad 5 sebelum Masehi di Yunani oleh orang yang bernama Sokrates (470/469-399 SM), dalam diskusinya dengan kaum Sofis, Sokrates sampai pada kesimpulan bahwa ’tujuan tertinggi/tujuan akhir hidup manusia ialah membuat jiwanya (daimonnya) menjadi sempurna’. Maka bagi Sokrates berbicara tentang moralitas berarti ’Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita harus hidup’. Kesimpulan ini diikuti dan dilanjutkan oleh Plato (428/427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Dari ketiga pemikir tersebut dikenal istilah empat keutamaan filosofis, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan.
Sedang di Timur (Tingkok) muncul pemikir-pemikir seperti Konfusius (551-479 SM) dan Laotse (604-531 SM). Konfusius sangat menekankan pentingnya pembangunan diri atau pemberadaban diri atau ’self cultivation’, dengan kata lain Konfusius menekankan pentingnya keteladan moral serta pentingnya membuat keputusan yang tepat. Begitu pula dengan Laotse yang mengemukakan adanya tiga keutamaan utama yaitu compassion (bela rasa baik dalam suka maupun dalam duka); moderation (bersikap moderat/tidak berlebihan) dan humility (kesederhanaan) .
Pemikiran-pemikiran semacam ini dalam sejarah pemikiran manusia dikenal dengan istilah etika keutamaan (virtue ethics) yang sampai sekarang masih tetap ada yang mengikuti dan mengembangkannya, misalnya yang paling banyak dipelajari saat ini adalah apa yang dikembangkan Sthephen R. Covey – yang menjadi terkenal – dengan bukunya yang berjudul The Seventh Habits of Highly Effective People (1989) dan kemudian pada tahun 1999 terbitlah buku yang berjudul The Seventh Habits 0f Highly Effective Families, dilanjutkan dengan bukunya yang paling akhir – sejauh yang yang saya ketahui – berjudul The Eight Habit. From Effectiveness to Greatness (2004).
Pada akhir tahun 2004 KWI menerbitkan Nota Pastoral dengan judul Keadaban Publik: Menuju Habitus baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi semua: Pendekatan Sosio Budaya . Dalam Nota Pastoral tersebut dinyatakan adanya tiga penyakit sosial yang menggerogoti keadaban publik. Ketiga penyakit sosial tersebut tidak lain adalah korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Di samping ketiga penyakit sosial tersebut maka saya pikir perlu disebut juga satu penyakit sosial yang lain, yaitu kemiskinan, atau mungkin lebih tepat ketimpangan pembangunan manusia seutuhnya. Dan saya pikir ke empat penyakit sosial tersebut sebenarnya berakar pada hancurnya moralitas, matinya hati nurani. Kemampuan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah makin tergerogoti oleh desakan budaya ’pola hidup yang sangat konsumtif’, pola hidup yang ditandai dengan semangat mengejar kenikmatan, kesenangan (hedonisme) dan mengejar materi (materialiasme). Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini artikel 16 merumuskan dengan indah apa yang dimaksud dengan hati nurani, yakni ’Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya’. Dengan rumusan tersebut – bagi saya – Gereja ingin mengajarkan kepada kita semua agar kita membangun suatu relasi yang akrab dan mesra dengan Allah, agar hati nurani kita sungguh menjadi peka. Memang suatu ironi dengan kondisi kita saat ini di mana secara formal kehidupan beragama di Indonesia sangat meriah, mesjid, gereja dan tempat-tempat ibadat yang lain selalu penuh pada saat umat beribadat, namun di lain pihak penyakit sosial sebagaimana yang telah disebut di atas merajalela. Itulah akibat kalau kita mengalami keterjebakan dalam formalisme, ritualisme dan legalisme agama. Antara kehidupan beribadat dan kehidupan sosial sehari-hari terjadi kesenjangan yang semakin melebar, seperti rela kereta api yang tidak pernah bertemu.
Dalam kondisi seperti ini maka keluarga memperoleh tantangan berat namun sangat strategis – hal ini berkaitan dengan peranan keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama – yaitu bagaimana membekali anak-anak dengan akar (nilai-nilai) yang kuat. Pembekalan ini berlangsung dalam konteks komunikasi keluarga, baik verbal maupun non verbal. Komunikasi verbal terungkap lewat dialog, pembicaraan dari hati ke hati, bukan instruksi, bukan debat, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52 sebagai berikut ”Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak”. Komunikasi non-verbal terungkap lewat keteladanan orangtua, dari pengalaman menjadi jelas bahwa pendekatan ini adalah yang paling berdaya-guna. Nilai-nilai mana yang perlu dikomunikasikan? Sebelumnya mungkin baik bila kita mencoba merumuskan terlebih dahulu apa sebenarnya yang kita maksud dengan nilai itu. Nilai itu selalu berkaitan dengan sesuatu yang positif/baik, baik secara moral, dengan menghayati nilai-nilai tersebut maka kita akan menjadi manusia yang utuh. Seorang pemikir Jerman yang bernama Max Scheler (1874-1928) berpendapat bahwa nilai itu suatu kualitas yang bersifat apriori (= untuk menghayatinya tidak memerlukan suatu pengalaman konkret). Selain itu bagi Max Scheler nilai mengenal tingkatan, mengenal hirarki, dari tingkat rendah ke tingkat tinggi. Mulai dari nilai-nilai yang berkaitan dengan kesenangan, kenikmatan, nilai-nilai ini berkaitan dengan yang indrawi. Disusul nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas atau kehidupan, nilai-nilai ini tidak lepas dari kesejahteraan hidup baik pribadi maupun sosial. Berikutnya ada nilai-nilai yang berkaitan dengan yang-spiritual, kadang-kadang untuk menghayatinya kita perlu ’mengorbankan’ sesuatu misalnya yang berkaitan dengan nilai-nilai tingkat pertama bahkan tingkat yang kedua, umpamanya keindahan, keadilan. Akhirnya nilai tingkat ke empat berkaitan dengan kesucian, dengan yang absolut.
Diane Tillmann dan Pilar Quera Colomina mendaftarkan 12 nilai-nilai sebagai berikut: kedamaian; penghargaan; cinta; kebahagiaan; kebebasan; kejujuran; kerendahan hati; toleransi; kerjasama; tanggungjawab; kesederhanaan dan persatuan. Keduabelas nilai tersebut merupakan nilai-nilai universal yang harus kita perjuangkan bagi terciptanya dunia baru, dunia yang lebih baik, dunia yang kita dambakan. Bagi saya daftar nilai tersebut diatas perlu ditambah dengan satu nilai yang sangat relevan dengan kondisi sekarang, yaitu kepedulian (care) yang tulus dalam konteks relasi dengan orang lain, sebagaimana ditekankan oleh Carol Gilligan dalam bukunya yang berjudul In a Different Voice: Psychological Theory and Woman’s Development (1993).
Kembali ke Nota Pastoral KWI 2004, Gereja Indonesia mengajak kita semua untuk membangun budaya alternatif, Gereja sadar sesadar-sadarnya bahwa ”membangun dan mengembangkan budaya alternatif bukan pilihan yang mudah, karena Gereja sendiri rapuh, tidak mudah memperbaharui diri dari dalam dan Gereja hidup di tengah-tengah masyarakat yang dilanda oleh kekuatan-kekuatan yang merusak itu. Namun dengan membangun dan mengembangkan budaya alternatif, Gereja memperlihatkan bahwa masih ada kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk mengadakan perlawanan terhadap perusakan keadaban publik. Pengembangan budaya alternatif paling ideal dilakukan melalui pendidikan nilai, khususnya bagi orang muda. Melalui pendidikan itu, mereka diajak, diberi kesempatan dan kemungkinan untuk mengalami secara nyata makna kehidupan, kasih sejati, pengampunan dan nilai-nilai yang lain. Dalam hal ini peranan keluarga amat menentukan ” (art.19).
Akhirnya marilah kita tanggapi secara positif ajakan Gereja Indonesia tersebut, agar moralitas sungguh dapat menjadi pelita kehidupan keluarga di dunia, khususnya di Indonesia, dengan berusaha sungguh-sungguh membangun budaya nilai di keluarga kita masing-masing.
Bogor, 27 Januari 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)