HARI MINGGU KELABU DAN PENYLENGGARAAN ILAHI
Pikullah kuk yang Kupasang dan
belajarlah padaKu (Mt.11:29a)
Pendahuluan
Baru 14 tahun 5 bulan saya hidup menduda, sejak tanggal 24 Februari 1997 yang lalu pasangan saya dipanggil Bapa untuk kembali ke rumahNya. Saya masih ditemani anak kami yang bungsu sampai Agustus 1998, setelah itu anak kami yang bungsu pindah ke Bandung karena kuliah di Universitas Pajajaran, sedang yang sulung kuliah di Universitas Katolik Soegijopranoto, Semarang. Maka sejak itu saya hidup sendirian – kecuali bila anak-anak pulang ke Bogor – dan selama ini semuanya berjalan baik-baik saja. Saya tidak merasa kesepian karena saya hidup di tengah-tengah warga lingkungan yang guyup, dan yang paling penting saya yakin selalu ditemani oleh Kristus Yesus.
Hari Minggu kelabu
Hari Minggu tanggal 5 Juni 2011 merupakan hari yang kelabu bagiku. Betapa tidak. Hari Sabtu tanggal 4 Juni 2011 saya masih ke Panti Asuhan Santo Yusuf di Sindanglaya – mengendarai mobil sendiri – dengan seorang teman untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pater Gabriel OFM, Direktur Panti Asuhan. Sekitar jam 14.00 kami pulang, ternyata sesampai di Cisarua turun hujan dan jalan macet. Sesampainya di Bogor jam sudah mendekati jam 16.30 maka kami memutuskan untuk langsung ke Katedral Bogor untuk mengikuti Perayaan Ekaristi agar esok hari bisa istirahat. Setelah selesai mengikuti Perayaan Ekaristi saya mengantar teman saya ke rumahnya dan kemudian saya pulang ke rumah saya. Sesampai di rumah – sekitar jam 19.00 – saya mandi, makan dan sedikit membaca. Jam 21.00 saya pergi tidur di lantai dua, jam 03.00 dini hari saya terbangun untuk ke kamar kecil. Selesai buang air kecil saya kembali tidur. Sampai saat itu saya tidak merasakan kelainan apapun dari diri saya. Jam 05.30 saya bangun dan merasa badan saya tidak seperti biasanya. Ketika saya mau berdiri maka saya akan jatuh, namun saya memaksakan diri untuk berdiri dan berjalan. Saya merasa kaki kiri tidak bisa saya kendalikan, tapi saya tetap memaksa diri untuk menuruni tangga – yang cukup curam – sambil berpegangan pada pegangan tangga. Dengan agak susah payah – sambil berdoa ’Tuhan bantulah, bimbinglah dan kuatkanlah aku’ – saya akhirnya berhasil turun. Sesampainya di bawah yang pertama kali terpikir adalah ’aku harus membuka pintu rumah dan gembok pagar’. Dengan susah payah saya berhasil membuka pintu rumah dan gembok pagar, selanjutnya saya masih mampu masak air dan membuat sarapan dalam bentuk havermout. Sambil menunggu havermout siap untuk dimakan maka saya mencoba ke lantai dua untuk melanjutkan kebiasaan saya bermeditasi dan menulis buah permenungan saya di buku catatan harian saya. Setelah selesai saya mencoba turun tapi kaki kiri makin lemah, maka akhirnya saya duduk sambil mencoba maju dan menuruni tangga (bahasa Jawa: ngesot) dan tentu sambil berdoa ’Tuhan bantulah, bimbinglah dan kuatkanlah aku’, akhirnya saya sampai juga di bawah dan berusaha ke meja komputer untuk menulis buah permenungan saya di facebook untuk dibagikan kepada para sahabat, namun tidak berhasil, saya tidak mampu membuka dan menyalakan komputer. Akhirnya sambil ngesot saya menuju ke ruang tamu untuk duduk di kursi tamu. Saya teringat handphone saya yang kebetulan ada didekat meja tamu. Saya mencoba menghubungi beberapa teman, yang pertama saya hubungi ternyata sedang ke Gereja. Yang kedua saya hubungi bisa ketemu kemudian saya hanya memberitahu bahwa saya sakit dan tolong segera ke rumah saya. Setelah saya tunggu sekitar 30 menit tidak datang-datang maka saya menghubungi yang ketiga, kebetulan tersambung dan seperti yang kedua saya memberitahu saya sakit, tolong segera ke rumah. Tidak lama kemudian datang bersama isterinya, karena merasa tidak kuat mengangkat saya maka suaminya memanggil teman yang lain (yang masih tidur), selama menunggu bantuan, isterinya sempat menyuapi saya beberapa sendok havermout yang tadi sudah saya siapkan. Setelah itu saya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat yaitu Bogor Medical Center (BMC). Setibanya di rumah sakit maka saya langsung di tempatkan di Unit Gawat Darurat, di UGD saya hanya diukur tekanan darah saya (160/110), setelah itu saya didiamkan saja sampai sekitar 2 jam (rupanya karena belum ada yang tandatangan dan memberikan uang muka, teman-teman saya sibuk menghubungi saudara-saudara saya dan teman-teman yang lain). Setelah ada teman yang tandatangan dan memberikan uang muka barulah saya ditangani dan dipindahkan ke Health Care Unit untuk diobservasi lebih lanjut, dan mendapat infus. Sore harinya kepala saya di CT – Scan, ternyata ada sumbatan di otak saya sebelah kanan, maka bagian kiri tubuh saya jadi lumpuh dan bicaranya menjadi cedal, dengan kata lain saya terkena stroke. Setelah saya mulai berbicara dengan cukup jelas saya tanya pada dokter yang merawat ’Apa yang menjadi pemicu sehingga saya bisa menjadi seperti ini?’ Jawaban dokter cukup mengagetkan, yang utama adalah kadar gula darah saya yang tinggi, di samping tekanan darah yang cukup tinggi. Mengagetkan, karena pada akhir dasawarsa 90-an saya pernah didiagnosa oleh dokter menderita kadar gula rendah, karena pernah jatuh di kamar mandi tanpa sadar, sehingga sejak itu saya ramah dengan makanan dan minuman yang manis, karena pada dasarnya memang saya menyukainya.
Penyelenggaraan Ilahi
Setelah beberapa hari berbaring di umah sakit – di mana hanya terbaring lemah, yang dilakukan hanya berbaring sambil diinfus, makan, minum obat, disuntik, buang air lewat kateter, tidak ada yang lain yang dapat saya kerjakan – padahal biasanya saya tidak pernah seperti ini, banyak aktivitas seperti rapat, bepergian, membaca, menulis paper dan lain-lain. Hari-hari saya lewati dengan perasaan frustrasi.
Selain daripada itu saya belum bisa menerima bahwa saya menderita stroke – lebih-lebih para sahabat yang menjenguk selalu berkomentar ’Rupanya Nugroho bisa sakit juga dan sampai harus menginap di rumah sakit.’ – karena hidup saya cukup teratur dan cukup disiplin, hidup saya cukup terkendali dan olah raga cukup teratur. Sampailah saat di mana bapak Uskup Bogor mengunjungi saya di rumah sakit. Pada saat kunjungan itu ada dua kalimat yang menyentuh saya. Beliau berkata ”Stanis usiamu sudah 64 tahun, coba bayangkan organ-organ tubuhmu sudah bekerja selama itu, apakah kaupelihara dengan baik, kalau toh kaupelihara dengan baikpun kondisinya tentu tidak seperti saat usiamu masih 17 tahun”. Kalimat yang kedua beliau ucapkan pada saat beliau mau pulang. Sambil memberi rosario yang beliau berkati maka beliau berucap ”Seringkali waktu seperti ini merupakan saat-saat yang sangat baik untuk merefleksikan perjalanan hidup kita”.
Setelah beliau pulang begitu pula pula para sahabat, maka saya memutuskan untuk memulai ’permenungan panjang’. Saya mulai membaca-baca Kitab Suci dan saya menemukan 2 teks yang menyentuh saya. Yang satu saya temukan pada kitab Ayub, bunyinya sebagai berikut: ’Dengan penderitaannya ia ditegur di tempat tidurnya, ...” (33:19a), selain itu saya juga menemukan di kitab Amsal teks yang berbunyi ”Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, ....” (18:14a). Kedua teks tersebut semakin mendorong saya untuk melaksanakan permenungan panjang dengan sungguh-sungguh, berkaitan dengan itu maka saya memulai permenungan panjang tersebut dengan doa mohon rahmat, pendampingan dan kekuatan untuk menindak lanjuti temuan-temuan yang akan saya peroleh selama retret panjang tersebut.
Langkah pertama saya mulai merefleksikan peristiwa hari minggu kelabu tersebut. Dalam kepanikan ternyata Tuhan masih menyertaiku – suatu Penyelenggaraan Ilahi – dan masih memberiku kesadaran untuk dapat berpikir dan melakukan apa yang perlu kulakukan, agar bantuan dapat masuk ke rumahku tanpa kesulitan. Penyelenggaraan Ilahi kualami lagi pada hari Senin tanggal 6 Juni dan hari Selasa tanggal 7 Juni, betapa tidak. Hari Senin aku mendapat kunjungan 2 orang suster Misionaris Claris yang di Duren Sawit Jakarta, yang seorang bernama suster Celina MC dan yang lain bernama suster Anna Maria MC. Setelah berbincang-bincang cukup lama, waktu mau pulang suster Celina bertanya kepada saya begini ’Pak Nugroho nanti kalau sudah boleh pulang apa rencananya?’ Jawab saya ’Ya saya pulang ke rumah’. Pertanyaan selanjutnya ’Di rumah dengan siapa?’ Jawab saya ’Dengan Tuhan Yesus’. Kemudian suster Celina berkomentar ’Dalam kondisi seperti sekarang selain Tuhan Yesus bapak memerlukan teman untuk membantu hal-hal yang belum bisa bapak lakukan’. Jawaban saya ’Belum terpikir suster’. Malamnya saya mulai berpikir tentang apa yang dipertanyakan oleh suster Celina, sampai tertidur saya belum menemukan jalan keluarnya, begitu pula keesokan harinya. Siang itu saya ditelpon oleh suster Vero MC – pimpinan regional MC Indonesia – suster Vero mengundang saya untuk memulihkan motorik saya di rumah sakit mereka di Madiun. Jawab saya kepada suster Vero ’Saya akan pikir-pikir dulu sambil berembug dengan anak sulung kami, famili dan teman-teman saya’. Kemudian suster Vero berpesan agar nanti saya memberi kabar. Mungkin anda bertanya di mana anak bungsu kami, koq tidak dilibatkan. Anak bungsu kami saat ini sedang berada di Meksiko, untuk mengikuti pendidikan menjadi seorang suster MC. Tanggal 13 Juni saya diantar oleh kemenakan berangkat ke Madiun, tanggal 14 oleh seorang fisioterapis saya mulai dilatih duduk kemudian berdiri. Keesokan harinya saya mulai dilatih berjalan dengan bantuan tongkat yang kakinya bercabang tiga dan demikian seterusnya sampai hari minggu tanggal 19 Juni saya sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Puji dan terimakasih kepada Tuhan yang begitu menyelenggarakan hidup saya dan semua sahabat yang saya tahu semua mendoakan saya.
Berikutnya lewat sakit ini saya menemukan bahwa Tuhan memberi saya peringatan bahkan teguran (lihat Ayub 33:19a) bahwa saya terlalu percaya diri atau menjadi sombong sehingga lalai untuk merawat diri saya lebih baik. Sejak pasangan saya meninggal dunia, saya tidak pernah kontrol tensi, gula darah dan lain-lain. Saya terlalu percaya untuk bisa mengendalikan diri, lupa usia saya makin lama makin menjadi tua, berarti organ-organ tubuh semakin menjadi aus. Mulai saat ini saya harus lebih bisa menerima diri apa adanya, melakukan kontrol seperlunya agar dengan demikian saya dapat memelihara diri sesuai dengan kondisi saya.
Selanjutnya saya dimotivasi dengan ayat yang meneguhkan saya yaitu ”orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah” (Ams.18:14). Berpenyakit merupakan salah satu penderitaan, lebih-lebih bagi saya – yang terbiasa aktif dengan macam-macam kegiatan – yang sekarang harus berbaring di tempat tidur rumah sakit dan mulai belajar berjalan seperti anak-anak balita. Awalnya saya hampir putus asa, tapi syukurlah menemukan ayat tersebut di atas. Dokter, perawat dan fisioterapis kagum dengan kemajuan saya. Puji dan syukur untuknya atas rahmat kesembuhan yang dicurahkan kepada saya.
Penutup
Hidup ini sungguh sebuah perjalanan bersama dengan sesama, dan di samping itu jangan pernah kita lupakan bahwa kita juga disertai, dibimbing dan kadang-kadang ditegur olehNya. Akhirnya saya ingin berterimakasih kepadaNya yang telah membuka matahati saya, memampukan saya untuk lebih peka dengan pengalaman yang awalnya tidak saya harapkan, dan membuat saya mampu menemukan persiapan-persiapan yang lebih utuh adar saya dapat melanjutkan perjalanan saya. Puji sukur dan terimakasih kepadaNya dan tidak lupa terimakah juga kepada para sahabat yang telah memperhatikan, peduli dan membantu pemulihan saya. Shalom!
Bogor, 17 Juli 2011